Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnaliis Republika
‘’Apa yang akan terjadi seandainya sosok tak tak hafal Pancasila itu perempuan berjilbab dan bercadar atau lelaki jenggotan dan celana cingkrang?” Pertanyaan menggelitik diunggah oleh Guru Besar Komunikikasi UIN Jogjakarta, Iswandi Syahputra, dalam laman facebooknya. Dan atas pertanyaan itu dia kemudian menyinggung frase yang dipopulerkan Pramoedya Ananta Toer: Adilah sejak dari pikiran?
Memang ditengah hirup pikuk sekaligus galau soal wabah corona hingga soal ekonomi negara yang empot-empotan, sekonyong-konyong ada fenomena yang ramai diperbincangkan publik di media sosial. Yakni soal tidak hafalnya seorang peserta kontes ratu kecantikan asal Sumatra Barat atas teks Pancasila dan yang terakhir soal gambar aktris Tara Basro yang tersebar dengan hanya mengenakan bikini.
Kontan saja kontrversi mengalir. Menyembur. Ada yang menganggp itu soal serius terkait dengan nilai ketimuran Indonesia atau malah menyatakan hal biasa sebagai anak manusia yang khilaf dan pelupa. Khusus Tara Basro bahkan ada politisi perempuan yang menganggapnya sebagai seni sehingga ada yang menuntut supaya dia mencontohkannya pula. Uniknya lagi, soal tidak hafal Pancasila kemudian oleh seorang politisi lainnya dianggap sebagai terpapar ide khalifah. Padahal si peserta kontes kecantikan setelah ‘diselidik’ via facebook ada yang menyatakan dia non muslim dan warga keturunan.
Jadi apa yang disinggung Guru Besar Komunikasi UIN Jogjakarta ada benarnya. Zaman ini serba tak jelas dan absurd. Semua pendapat tersembur tanpa saringan. Kadang hoak dibalas hoak hingga janji pun dibayar dengan janji. Absurd dan media penengahnya pun lenyap.
Soal identitas ideologi hingga agama entah mengapa di Indonesia kini seakan jadi dua musuh besar yang telah dan selalu siap bertarung. Kedua belah pihak seolah bersikap ‘tak ada excuse’. Apa yang didengunkan sebagai toleransi hingga Bhineka Tunggal Ika hanya kenyataan yang banal. Mereka berkeras pada ide isi kepala yang seolah tak bisa tertukarkan. Dan ini makin rumit ketika terkait soal finansial dan kepentingan politik. Istilah dari mendiang KH Hasyim Muzadi: Beda pendapat boleh asal tidak beda pendapatan.
Untuk soal ini ada kisah menarik yang kini terjadi di Quebec, Canada. Pemerintah di sana kini tengah berupaya menghilangkan segala lambang yang terkait dengan simbol agama dan ideologi pada setiap aparatur negara.
Seorang wartawan senior, Darmawan Seproyosa, dalam tulisannya yang diunggah di Facebook menulis begini dengan mengutip sebuah tulisan media Inggris, di ‘The Gurdian’. Dia menulis dalam media daring ‘Jerinh.co’. Isinya sebagai berikut:
Sejak pemerintah Quebec pada Juni 2019 melarang guru sekolah, polisi, jaksa penuntut dan pegawai sektor publik lainnya mengenakan simbol agama saat bekerja, orang-orang seperti ketiga perempuan itu telah bergulat dengan konsekuensinya.
François Legault, pemegang otoritas eksekutif di Quebec yang berhaluan kanan, mengatakan undang-undang–yang berlaku untuk jilbab Muslim, turban Sikh, kopiah Yahudi, salib Katolik dan simbol agama lainnya, itu menjunjung tinggi pemisahan antara agama dan negara, dan menjaga netralitas pekerja sektor publik . Pemerintah telah menekankan bahwa sebagian besar warga Quebec mendukung larangan tersebut.
“Saya tidak akan merasa nyaman dihadapkan dengan seorang hakim atau pengacara di pengadilan mengenakan jilbab di sini, karena saya akan khawatir tentang netralitas mereka,”kata Radhia Ben Amor, seorang koordinator penelitian di Universitas Montreal, yang beragama Islam. Ia mengatakan dirinya pindah dari Tunisia untuk tinggal di negara yang lebih sekuler.
Namun undang-undang tersebut telah memicu protes vokal dan tantangan hukum, serta kecaman dari Perdana Menteri Justin Trudeau.
Para kritikus mengatakan, hal itu justru merusak kebebasan beragama, melanggar perlindungan konstitusional dan mengecualikan minoritas yang memilih untuk memakai simbol iman dari profesi penting. Mereka juga mengatakan, akan sulit untuk menerapkan hokum, karena sulit untuk membedakan simbol keagamaan dari aksesori mode atau pakaian nonagama.
Keterangan foto: Turrban seorang guru sikh yang dilarang dikenakan di Quebec, Canada.
Dewan Sekolah Bahasa Inggris di Montreal mengatakan, undang-undang memaksanya untuk memalingkan guru yang berkualitas. Ia mengatakan, setidaknya satu guru telah melepas jilbabnya saat bekerja untuk menjaga pekerjaannya.
Koalisi Inklusi Quebec, sebuah kelompok yang mencakup Katolik Roma, Yahudi, Sikh, dan Muslim, menantang undang-undang tersebut di pengadilan, bersama dengan tiga guru, termasuk dua Muslim dan seorang penganut Katolik Roma.
Selanjut Darmawan menulis: Perri Ravon, seorang pengacara yang telah mengerjakan dua tuntutan hukum terhadap larangan tersebut mengatakan, setidaknya untuk saat ini hukum tersebut secara tidak proporsional memengaruhi wanita Muslim, karena jilbab adalah simbol agama yang kelihatan dari luar. Dia mencatat bahwa salib Katolik kurang mencolok karena bisa disembunyikan dalam blus atau kemeja saat bekerja.
Meskipun demikian, guru Katolik yang disebutkan dalam salah satu tuntutan, Andréa Lauzon, yang mengenakan salib dan medali Perawan Maria yang terlihat dari luar, mengatakan di pengadilan bahwa iman dan identitasnya terikat erat. “Saat ini hak konstitusional saya untuk kebebasan beragama telah dilanggar,” kata dia.
Keterangan Foto; Kalung itu juga terlarang dikenakan seorang pekerja pemerintah di Quebec
Larangan ini berakar pada evolusi bersejarah Quebec menjadi masyarakat sekuler yang taat dengan ketidakpercayaan mendalam terhadap agama. Semua itu berasal dari apa yang disebut Revolusi Tenang pada 1960-an, ketika Quebec memberontak melawan dominasi Gereja Katolik Roma. Jean Duhaime, profesor agama emeritus di University of Montreal mengatakan, bahkan sebelum undang-undang baru-baru ini, pemakaian salib di sektor publik distigmatisasi dan dihambat dalam masyarakat Quebec.
Dia mengatakan para penentang Katolik terhadap larangan itu menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok agama lain. Ia melihat bahwa di masyarakatpendukung hukum Quebec melihat Muslim yang mengenakan jilbab sebagai “hantu agama yang muncul kembali di Quebec, sambil memandang jilbab sebagai instrumen dominasi patriarki”.
Alhasil, bisalah bangsa ini bisa bertindak adil semenjak pikiran? Ingat Quebec Canada tak mengenal Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Masa lita kalah?