REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Beberapa hari sebelum peringatan satu tahun penembakan massal di Christchurch yang menewaskan 51 orang, muncul sebuah foto seorang laki-laki mengenakan sarung kepala berdiri di luar salah satu masjid tempat penembakan terjadi.
Foto yang tersebar di salah satu aplikasi kirim pesan terenkripsi itu juga menampilkan emoji senjata. Unggahan itu menjadi salah satu pesan ancaman terhadap minoritas di Selandia baru.
Selain itu, menunjukkan bukti apa yang para pakar sebut meningkatnya kejahatan kebencian dan xenophobia di Selandia Baru. Terutama setelah pembantaian yang dilakukan supremasi kulit putih pada 15 Maret tahun lalu.
Pelaku penembakan Christchurch, Brenton Tarrant menghadapi 92 dakwaan atas serangan di Masjid Noor dan Linwood. Warga negara Australia itu mengaku tidak bersalah dan akan di sidang pada Juni mendatang.
Setelah serangan tersebut Selandia Baru mencurahkan belas kasih kepada komunitas muslim di negara itu. Perdana Menteri Jacinda Ardern memberlakukan undang-undang baru dalam kepemilikan senjata dan ia juga memimpin gerakan global untuk membasmi ujaran kebencian di internet.
Langkah Ardern itu banyak dipuji banyak pemimpin dunia. Tapi menurut aktivis dan pakar penembakan Christchurch juga menginspirasi nasionalis sayap kanan dan pendukung gerakan anti-imigran lebih aktif lagi di internet dan dunia nyata.
"Serangan itu tentu membuat orang berani menyebarkan kebencian," kata Anjum Rahman dari Dewan Perempuan Islam Selandia Baru, Rabu (11/3).
Dalam beberapa tahun terakhir dewan itu sudah memperingatkan pemerintah tentang meningkatnya kebencian dari ekstrem kanan dan ancaman terhadap perempuan muslim di Selandia Baru. Rahman yang melaporkan ancaman terbaru terhadap masjid Noor.
Ia melaporkannya ke polisi setelah melihat foto laki-laki dengan sarung kepala di depan masjid itu. Foto tersebut disebarkan di aplikasi kirim pesan Telegram.
Polisi Selandia Baru mengatakan mereka menangkap seorang laki-laki berusia 19 tahun atas dakwaan gagal membantu polisi melakukan penggeledahan terkait peristiwa tersebut. Ia akan dihadapkan ke persidangan pada bulan ini.
Dalam situsnya kelompok tersebut mengatakan mereka fokus 'membangun masyarakat Eropa Baru di Selandia Baru'. Menanggapi peristiwa itu, Action Zealandia mengatakan tindakan pelaku tidak sesuai dengan kode etik kelompok.
"(Tindakan itu) kanak-kanakan dan tidak produktif karena kami tidak menggunakan kekerasan untuk meraih tujuan kami," kata Action Zealandia di media sosial Twitter.
Polisi Selandia Baru mengatakan, mereka tengah bekerja untuk mengetahui lebih dalam individu atau kelompok yang menunjukkan ancaman. Tapi mereka tidak memberikan komentar lebih lanjut tentang kelompok tertentu.
Dalam pertemuan komite parlemen yang diketuai Ardern bulan lalu. Kepala intelijen Selandia Baru mengakui sejak serangan Christchurch tantangan untuk menghadapi ancaman dari kelompok sayap kanan semakin meningkat.
"(Serangan) ini memberikan semangat kepada beberapa orang, ini telah menginspirasi orang lain, dan hingga saat ini gambarannya masih cair," kata Direktur Jenderal Badan Intelijen Keamanan Selandia Baru Rebecca Kitteridge kepada komite tersebut.
Intelijen Selandia Baru sudah menyelidiki sekitar 30 sampai 50 orang yang dianggap melakukan ancaman. Jumlahnya lebih banyak dibandingkan tahun lalu.
"Kami mendapatkan lebih banyak informasi tentang semakin banyak orang yang mengungkapkan pandangan ekstremis dibandingkan sebelum 15 Maret dan beberapa orang sudah melakukannya sebelum serangan dan dampak setelah serangan," kata Kitteridge.
Kitteridge mengatakan sejak 15 Maret sampai akhir Juni 2019 badan intelijen Selandia Baru menerima informasi tentang orang-orang yang mengekspresikan pandangan rasialis, Nazi atau supremasi kulit putih. Netsafe juga mendapatkan informasi yang serupa.
Badan keamanan internet itu menggelar jajak pendapat pada bulan Desember lalu. Mereka menemukan selama 12 bulan terakhir ujaran kebencian di Selandia Baru meningkat, sekitar 15 persen populasi dewasa menjadi sasaran ujaran kebencian.
Tidak hanya di internet tapi juga di dunia nyata. Beberapa pekan sebelum peringatan penembakan massal 15 Maret muncul poster-poster supremasi kulit putih di universitas-universitas di Auckland.
Pakar kelompok ekstrem sayap kanan dari Massey University, Paul Spoonley mengatakan, ada sekitar 60 sampai 70 kelompok dan sekitar 150 sampai 300 aktivis garis keras sayap kanan di Selandia Baru. Ia mengatakan perbandingan dengan populasi sama dengan di Jerman.
"Kini Selandia Baru bagian dari ekosistem sayap kanan internasional, dengan cara yang tidak bisa Anda katakan 20 tahun yang lalu, dalam hal toleransi kami cukup baik, tapi tidak berarti tidak ada elemen ekstremis," kata Spoonley.