Jumat 13 Mar 2020 19:21 WIB

Menimbun Masker, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Banyak masker yang ditimbun saat terjadi wabah corona.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Menimbun Masker, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?. Foto: Petugas kepolisian Polda Metro Jaya melintasi barang bukti saat rilis dugaan penimbunan masker di gudang di Neglasari, Kota Tangerang, Banten.(Antara/Fauzan)
Foto: Antara/Fauzan
Menimbun Masker, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?. Foto: Petugas kepolisian Polda Metro Jaya melintasi barang bukti saat rilis dugaan penimbunan masker di gudang di Neglasari, Kota Tangerang, Banten.(Antara/Fauzan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ditemukannya kasus virus corona jenis covid-19 membuat warga berbondong-bondong memburu masker. Namun banyak warga yang kesulitan memperoleh masker sebab banyak toko hingga pusat perbelanjaan kehabisan stok persediaan. Di lain sisi kelangkaan masker dimanfaatkan sebagian orang untuk mencari keuntungan. Yakni dengan menimbun masker untuk kemudian di jual kembali dengan harga yang tinggi.

Pada edisi fatwa kali ini, ada tiga kasus terkait penimbunan masker yang akan dibahas. Pertama, bagaimana hukumnya orang yang sengaja menimbun masker di tengah masyarat yang membutuhkan untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang tinggi? Kedua, bagaimana hukumnya menimbun masker dalam jumlah banyak untuk kebutuhan diri sendiri? Ketiga, bagiamana hukumnya menimbun masker untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat saat membutuhkan seperti pada kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang menimbun masker untuk kemudian dibagikan kepada warga yang membutuhkan?

Baca Juga

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan menimbun dalam istilah hukum islam disebut dengan ihtikar. Menurut Kiai Moqsith ihtikar hukumnya haram terlebih menimbun barang yang sangat dibutuhkan.

Sebagaimana hadits Nabi: Tidak seorang pun yang melakukan penimbunan dia adalah pendosa (HR. Muslim). Namun menurut Kiai Moqsith ihtikar yang diharamkan adalah jika mengandung unsur kedzaliman. Yakni seperti menimbun suatu barang seperti masker agar langka di pasaran sehingga orang yang menimbun memperoleh keuntungan besar ketika melepasnya atau menjualnya ke pasar.

Sehingga barang yang biasanya murah menjadi sangat mahal harganya karena terjadinya kelangkaan barang tersebut di pasaran. Namun demikian, menimbun barang untuk dikonsumsi atau digunakan sendiri menurut Kiai Moqsith tidaklah haram. “Maka tak haram jika menimbun barang hanya untuk konsumsi pribadi, bukan untuk mencari keuntungan dalam kesempitan,” kata Kiai Moqsith kepada Republika.

Begitu pun menimbun barang dengan tujuan untuk dikeluarkan atau dibagikan kepada masyarakat saat dalam kondisi membutuhkan, seperti yang dilakukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut Kiai Moqsith hal tersebut diperbolehkan. “Menimbun barang untuk dilepas kembali ke masyarakat ketika masyarakat membutuhkan hukumnya boleh apalagi digratiskan. Ini tidak termasuk kategori ihtikar yang diharamkan itu,” katanya.

Begitu juga menurut Wakil Ketua Umum Persis, Ustaz Jeje Zainuddin, menurutnya segalah perbuatan dan tindakan yang menimbulkan kesulitan dan perselisihan diantara manusia diharamkan dalam Islam. Karena itu menurut Ustaz Jeje, penimbunan barang seperti obat-obatan, alat medis termasuk masker atau pun segala barang yang menjadi kebuthan publik, dengan tujuan ekonomis seperti menjual kembali dengan harga yang jauh lebih mahal ataupun untuk tujuan politis seperti menimbulkan kepanikan atau kekacauan politik termasuk disebut ihtikar yang diharamkan.

Namun demikian, menurut ustaz Jeje pada kasus menimbun barang untuk diri sendiri diperbolehkan selama tidak menyebabkan kesusahan pada orang lain. “Menimbun untuk diri sendiri karena khawatir terjadi kelangkaan dikemudian hari, baik itu makanan, pakaian, obat-obatan dan sebagainya. Jika penimbunannya itu wajar dan tidak menyebabkan kesusahan orang banyak maka masih diperbolehkan. Tetapi jika berlebihan dan berdampak kesusahan orang banyak bahkan mengakibatkan fakir miskin tidak mampu membelinya maka ia termasuk dihukumkan orang egois dan zalim,” tuturnya.

Lain lagi dengan penimbunan yang dilakukan seorang penguasa atau pemimpin untuk mengendalikan harga di pasar atau menyimpan cadangan sebagai upaya pengamanan untuk dilepaskan ke pasar atau didistribusikan kepada masyarakat secara gratis. Menurut ustaz Jeje tindakan tersebut dibenarkan selama sesuai dengan prosedur hukum yagn berlaku dan tujuan yagn benar untuk pelayanan kepada rakyat. Ini sebagaimana kaidah fikih bahwa kebijakan seorang pemimpin harus berlandaskan unutk kebaikan rakyatnya.

Sementara itu Sekretaris Bindang Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh berpendapat tindakan menimbun barang untuk mencari keuntungan pribadi pada saat orang lain membuauthkan secara mendesak yang menyebabkan kerugian baik fisik maupun sosial apalagi sampai mengancam jiwa hukumnya dosa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement