Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
‘Siapa yang bernyanyi, dia berdoa dua kali! Pepatah bahasa Latin ini kembali terdengar ke publik setelah Rocky Gerung menyitirnya pada perayaan Hari Musik Nasional di rumah Ahmad Dhani beberapa hari lalu. Video soal ini tersebar luas di Yotube.
Dan memang, soal musik ini soal maha penting di masa lalu. Di era Yunani Kuno musik malah dicurigai sebagai simbol kelemahan lelaki sama hanya menangis yang dianggap aib dari imaji ‘kejantanan’. Prajurit kata mereka sebaiknya jangan suka menyanyi, terutama lagu melankoli atau elegi yang meratap-rapat. Sebab, tindakan itu merupakan sebuah kelemahan jiwa.
Di kalangan Muslim pun begitu. Sampai sekarang soa lagu dan musik masih belum ada kesepakatan bulat. Namun Fatwa terbaru dari Syekh Yusuf Qardawi musik itu hukumnya ‘mubah’. Artinya, menjadi haram bila membuat lalai kepada Tuhan, dan menjadi sunah atau boleh bila mendekatkannya. Setidaknya adanya fatwa ini menyanyi dan main musik tak lagi dianggap perbuatan bid'ah dan haram secara total.
Namun, di kalangan kaum sufi sendiri musik dianggap hal yang baik. Bergizi. Imam Al Ghazali menanggap musik memang berbahaya bisa bikin lupa diri dan jiwa. Namun, menurutnya kekuatan musik bisa dijadikan sarana untuk mengingat Tuhan Alam semesta. Maka hingga kini dikenal musik dan tarian yang berputar putar mengiringi para sufi untuk mencapai ‘ektase’.
Dan khusus untuk pernyebaran Islam di Nusantara pengaruh musik juga berkembang. Di tanah Melayu ada dan di kenal musik ‘Melayu’ yang mengadopsi birama hingga tetabuhan tanah Arabia dan India. Di sana juga ada rangkaian syairnya yang terpengaruh puisi Arab. Bentuk tarinya pun ada, terutama terkenal di kalangan komunitas Islam dan masyarakat keturunan Arab, yakni Zafin. Ini tersebar di Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Pesisiran, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan lainnya. Bahkan dalam penelitian terbaru sudah tersebar sampai kawasan Samudra Hindia di sebelah timur hingga Maroko disebelah barat.
Di India dan Pakistan misalnya, pengaruh musik sufi ini terlihat pada musik Qawali yang sering kali dimainkan oleh mendiang maestronya yakni Nusrat Fateh Ali Khan (Kini diteruskan keponakannya yang enjadi penyanyi top di dua negara itu: Rahat Fateh Ali Khan). Lagunya yang melambangkan sinar perjumpaan dengan Tuhan, 'Afreen Efreen', menjadi lagu top dan sempat ditampilkan diresepsi penyerahan hadiah nobel di Swedia.
*****
Khusus untuk Jawa hal itu pun sama. Bahkan menyanyi atau nembang dipakai Sunan Kalijaga dan Para Wali Songo lainnya untuk menyebarkan agama. ‘Ngidung’ atau ‘Nembang’ menjadi laku untuk melengkapi doa sekaligus melepaskan kepenatan hidup.
Hasil karya wali songo terjejak sampai sekarang. Sunan Kalijaga yang menciptakan banyak lagu yang ‘imortial’ dia juga mampu menciptakan dua genre lagu Jawa yang dia bagi menjadi tembang ‘alit dan ageng.’ Maka lahirlah berbagai model lagu seperti Megatruh, Mijil, Durma, Kinanthi, Asmaradhana, dan lainnya. Sebelum itu tembang Jawa tak ’semenarik itu’. Langgam lagu mirip lagu orang Kamboja bernyanyi. Cempreng dan tinggi nadanya. Lagu jawa itu kemudia berubah semakin berwarna sekaligus syairnya makin rimut karena penuh aturan dan perhitungan.
Kebetulan, masyarakat Jawa suka bernyanyi. Mereka mengangap dengan bernyanyi sebuah ketenangan batin akan didapatkan. Apalagi bait-bait lagu yang didendangkannya itu syairknya berisi petuah hidup. Bahkan, ada sebuah lagu atau tembang Jawa yang sangat cocok untuk disenandungkan pada hari-hari ketika wabah virus Corona meletup. Tembang itu karya Sunan Kalijaga, judulnyaKidung Rumekso Ing Wengi. Nama lain dari tembang ini adalah 'Mantra Wedha.'