Oleh Fachmi Idris
Direktur Utama BPJS Kesehatan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada kegaduhan yang tak perlu pada saat wabah virus Corona mendera. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa viral di media sosial dan media jejaring. Tentu saja situasi ini bisa dimaklumi sebagai suatu kewajaran.
Ada kekhawatiran, ada kepedulian, dan ada keharusan untuk memastikan. Memang, ada banyak hal yang harus disiapkan dalam menghadapi wabah, khususnya Covid-19.
Bagaimana kesiapan cadangan dan distribusi pangan untuk publik, bagaimana pasokan energi, bagaimana kesiapan organisasi dan kelembagaannya, bagaimana regulasinya, bagaimana ketersediaan dan distribusi obat-obatan dan peralatan kesehatan, bagaimana kesiapan laboratorium dan test kits, bagaimana kesiapan ruang isolasi dan tenaga medis serta para medis, dan bagaimana dengan biaya pelayanan kesehatannya. Tentu masih banyak juga hal lainnya.
Tulisan ini hanya akan mengulas salah satunya, yaitu tentang biaya pelayanan kesehatan untuk ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), serta suspect maupun positif Covid-19. Sebab, ada yang mempertanyakan tentang kehadiran negara dan BPJS Kesehatan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan untuk kasus Covid-19.
Ditanggung Negara
Pada tanggal 3 Maret 2020, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Bambang Wibowo, dalam suatu konferensi pers telah menyatakan bahwa pemerintah akan menanggung biaya pasien yang terinfeksi virus corona. “Kan sudah diumumkan sebagai sebuah KLB (kejadian luar biasa). Jadi, semua pembiayaan mulai dari suspect atau sakit itu semuanya ditanggung oleh pemerintah,” katanya. Jadi, negara dan pemerintah sangat hadir dan selalu hadir.
Pemerintah telah mengumumkan status KLB sejak 4 Februari. Menteri Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.
Pada poin pertama tertulis: menetapkan infeksi Novel coronavirus (infeksi 2019-nCoV) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah. Pada poin keempat disebutkan bahwa segala bentuk pembiayaan dibebankan pada anggaran Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan atau sumber dana lain yang sah. Sementara itu, poin kelima lebih spesifik lagi karena tertulis juga termasuk untuk “biaya perawatan bagi kasus suspect yang dilaporkan sebelum keputusan menteri ini mulai berlaku”.
Jadi, intinya, negara telah memastikan penjaminan pembiayaan untuk wabah virus corona, yaitu ditanggung pemerintah.
Pada sisi lain, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seperti tertuang dalam surat keputusan kepala BNPB bernomor 9.A/2020 tentang penetapan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat corona di Indonesia juga telah ditetapkan “status keadaan tertentu”. BNPB menetapkan masa berlaku status itu selama 32 hari sejak 28 Januari hingga 28 Februari 2020. Pada 29 Februari, kepala BNPB memperpanjang status keadaan tertentu itu hingga 29 Mei 2020 melalui SK bernomor 13.A/2020.
BNPB juga menegaskan bahwa segala biaya diambil dari dana siap pakai (DSP) yang ada di BNPB. Tentu hal ini terkait dengan kegiatan BNPB saja. Keluarnya SK ini terkait dengan pemulangan mahasiswa Indonesia dari Wuhan, Tiongkok, yang ditempatkan di Natuna, Kepulauan Riau. Langkah ini juga untuk menangani warga Indonesia yang bekerja sebagai awak kapal di World Dream dan Diamond Princess. Semua itu dibiayai negara.
Dengan demikian, ada dua lembaga yang menetapkan status wabah corona ini. BNPB mendasarkan putusannya pada Undang-Undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 1 angka 1 disebutkan, ada tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Pada pasal 1 angka 3 ditulis, “Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.” Serangan virus corona ini masuk pada poin epidemi dan wabah penyakit. Jadi, serangan virus corona ini sebagai bencana nonalam.
Tugas untuk kepala BNPB kemudian bertambah. Presiden mengeluarkan Kepres No 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pada tanggal 13 Maret 2020. Gugus tugas ini langsung di bawah presiden. Kepala BNPB menjadi ketua pelaksana gugus tugas. Sementara itu, pembiayaan diambil dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Dalam kepres memang tidak ada penjelasan verbal tentang pembiayaan pelayanan kesehatan. Namun, hal ini sudah tercantum pada keputusan menkes.
Untuk payung hukum penganggaran di semua kementerian dan lembaga, menteri keuangan mengeluarkan surat edaran bernomor SE-6/MK.02/2020 tentang refocusing kegiatan dan realokasi anggaran kementerian/lembaga dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Lalu, bagaimana dengan BPJS Kesehatan?
Tentang hal ini tertuang dalam Perpres No 82/2018. Pasal 52 mengatur tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Pada pasal 52 huruf O tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin termasuk “pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah”.
Dengan demikian, pasal ini mengatur larangan. Sesuai regulasi, BPJS Kesehatan dilarang menjamin pelayanan kesehatan akibat wabah. Sebab, biaya ini ditanggung oleh pemerintah secara langsung.
Namun, wabah virus corona ini berbeda dengan bencana alam. Wabah virus ini bersifat masif, memiliki kecepatan persebaran, menasional, dan menggesa. Hal ini misalnya berbeda dengan KLB lain seperti demam berdarah yang juga dibiayai langsung oleh negara. Mekanisme teknisnya sudah berjalan baik selama ini.
Sebaliknya, untuk Covid 19, ada banyak pertanyaan bahkan keluhan dari fasilitas kesehatan dan pemerintah daerah tentang mekanisme pembiayaannya. Hal ini menimbulkan problem teknis di lapangan dan kepastian pembiayaan untuk fasilitas kesehatan yang sudah berjibaku menangani pasien Covid 19. Ini yang akhir-akhir ini viral di media sosial dan media jejaring. Lalu, bagaimana solusinya?
BPJS Kesehatan Siap
Pertanyaan dari pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan tersebut sesuatu yang wajar. Mereka butuh kepastian. Ini menyangkut dana. Bisa saja pemerintah memberi kepastian tentang mekanisme dan tata caranya, juga administrasi dan verifikasinya.
Namun, jika hal itu butuh jawaban segera dan mendesak, bisa saja tugas itu diberikan kepada BPJS Kesehatan.
Sebagai lembaga yang tugas pokoknya memberikan layanan jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan telah memiliki prosedur baku, jangkauan organisasi hingga seluruh Indonesia, dan sumber daya manusia. Karena itu, BPJS Kesehatan bisa menjadi solusi yang siaga.
Solusinya sederhana. Selesaikan aspek hukumnya. Perlu ada diskresi khusus agar pasal 52 huruf O bisa diterobos. Hal itu cukup dengan instruksi presiden atau perpres khusus, yang memberi kewenangan pada BPJS Kesehatan untuk menalangi pendanaan pelayanan kesehatan untuk pasien Covid-19. Selanjutnya, BPJS Kesehatan akan melakukan reimburse (penagihan) ke pemerintah atau melalui mekanisme lainnya yang diatur secara internal oleh pemerintah. Yang pasti, fasilitas kesehatan punya "loket" untuk menagihkan, dalam hal ini BPJS Kesehatan
Sebab, situasi wabah pada akhirnya akan memiliki limit waktu. Inpres dan perpres khusus tersebut bisa saja masa berlakunya terbatas dan dengan tujuan tertentu.
Peran baru BPJS Kesehatan ini sangat sejalan dengan arahan presiden bahwa dalam situasi saat ini, semua pihak harus bergotong royong, bahu-membahu, dan bersatu. Semua ini untuk Indonesia Raya.