Jumat 27 Mar 2020 11:26 WIB

Apakah Muslim Harus Memilih Mazhab Fikih?

Apakah orang harus memilih antara keempat mazhab fikih yang ada?

Apakah Muslim Harus Memilih Mazhab Fikih? (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Apakah Muslim Harus Memilih Mazhab Fikih? (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat Rasulullah SAW masih hidup, umat Islam dapat bertanya langsung dan mendapatkan ketetapan hukum dari beliau. Sesudah Nabi SAW wafat, banyak sahabat yang menghafal Alquran juga menerangkan agama sesuai contoh Rasul SAW. Barulah pada abad ketiga hijriah, hadis-hadis mulai dibukukan. Sejak saat itu, sumber hukum Islam dapat digali dengan mudah.

Jumlah mujtahid pada masa tabiin dan tabiit tabiin banyak. Akan tetapi, hanya empat yang diakui secara luas. Keempat mujtahid itu adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad Ibnu Hambal. Adapun kaum awam yang tak mampu melalukan ijtihad disebut sebagai muqallid atau orang yang bertaklid. Mereka ini mengikuti pendapat mujtahid yang sudah ada.

Baca Juga

Secara umum, jumhur ulama menyatakan, siapa yang menetapkan bagi dirinya sendiri untuk mengikuti salah satu mazhab tertentu, maka ketetapan tersebut tidak mengikatnya. Sebab, tidak ada yang wajib diikuti ketetapannya dalam bidang agama kecuali Allah SWT dan Rasul-Nya.

Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu mazhab saja dinilai rusak. Sebab, itu menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas. Pada zaman sahabat dan tabiin, seorang muqallid dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia bertanya suatu masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama lain tentang kasus lain.

 

Talfiq mazhab

Acapkali, perbedaan pendapat antarmazhab tampak mendasar. Mulai dari hukum suatu ibadah, sampai syarat, rukun, dan tata caranya. Seorang muqallid pun tidak bisa mengikuti mazhab secara utuh sehingga mesti melakukan talfiq.

Mengutip Tebuireng Online, talfiq berarti menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab yang berbeda dalam satu ibadah. Misal, seorang pria yang membasuh beberapa helai rambut ketika wudhu. Orang itu mengikuti mazhab Syafi’i. Akan tetap, ketika menyentuh perempuan, ia tidak mengulangi wudhunya sehingga bisa dikatakan ia mengikuti mazhab Abu Hanifah. Sebab, bagi mazhab Syafii, bersentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu.

Namun demikian, ada beberapa bentuk talfiq yang tidak dibenarkan. Misalnya, apabila seseorang mengambil pendapat dua imam mazhab atau lebih dalam satu amalan tertentu, yang dalam pengalamannya tidak diakui oleh semua ulama dalam mazhab tersebut.

Contoh, seseorang menikah dengan mengambil pendapat mazhab Abu Hanifah yang tidak menuntut adanya wali sekaligus mengambil pendapat Syafi'i yang membenarkan perkawinan tanpa mahar (bila disetujui oleh calon istri). Pada waktu yang sama, ia mengambil pendapat Maliki yang tidak mensyaratkan saksi. Pernikahan semacam ini tidak dibenarkan oleh ketiga imam mazhab tersebut. Alhasil, talfiq semacam ini tidak dibenarkan. Intinya, niat pelaku talfiq seyogianya bukan semata-mata untuk mencari yang ringan-ringan atau mudah.

Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq. Pertama, tidak bertentangan dengan ijma’ atau nash Alquran dan sunnah. Kedua, tidak digunakan untuk membebaskan diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).

 

Tiga golongan

Tiap Muslim pun secara hakikat tak bisa digeneralisasi. Quraish Shihab membagi secara garis besar tiga kategori manusia dalam kaitannya dengan pemahaman sumber-sumber ajaran agama.

Pertama, orang yang memahami secara mendalam kandungan Alquran dan Sunnah serta cara-cara menetapkan hukum melalui sumber-sumber itu.

Kedua, orang yang memiliki pengetahuan memadai tentang pendapat-pendapat ulama kelompok pertama itu, serta memiliki kemampuan untuk membandingkan dan memilih mana yang kuat daripada pendapat-pendapat itu.

Ketiga, orang awam yang kemampuannya tidak mencapai kemampuan kedua kelompok di atas.

Yang berada pada katagori pertama, harus berupaya bersungguh-sungguh untuk menemukan sendiri hukum-hukum agama dengan menggunakan kemampuannya itu. Ia tidak dibenarkan mengikuti pendapat lain, seandainya hasil penelitiannya berbeda dengan pendapat itu.

Kelompok kedua harus berupaya mentarjihkan (meneliti mana yang paling kuat dari pendapat ulama-ulama kelompok pertama dan ia berkewajiban melaksanakan sesuai dengan hasil upayanya itu).

Adapun katagori ketiga, berkewajiban bertanya kepada yang tahu. Jawaban yang diterima dan menenangkan hatinnya itulah yang harus dia ikuti.

Wallahu a’lam bis-shawab.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement