REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah sedang mematangkan skema penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) ke pekerja sektor informal harian dan usaha mikro kecil (UMK). Bantuan ini diharapkan mampu membantu menjaga daya beli dua kelompok masyarakat yang dinilai terdampak dari perlambatan ekonomi akibat wabah virus corona (Covid-19).
Asisten Deputi Pengembangan Kewirausahaan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iwan Faidi menyebutkan, pihaknya sedang merumuskan detail dari kebijakan tersebut. Perumusan tersebut termasuk mekanisme pengumpulan data sampai kemampuan keuangan negara.
"Saat ini sedang dibahas mekanisme untuk pengumpulan data, kriteria (penerima BLT), besaran, ketersedian ruang fiskal, dan penyaluran," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (27/3).
Iwan memastikan pembahasan dilakukan secara komprehensif dengan kementerian/lembaga terkait. Hal tersebut tetap memperhatikan akuntabilitas dari BLT.
Ada beberapa opsi skema penyaluran yang dibahas di internal Kemenko Perekonomian. Salah satunya, Iwan menyebutkan, pemanfaatan kartu prakerja sebagai medium menyalurkan BLT ke pekerja informal dan UMK terdampak.
Namun, Iwan masih belum bisa memberi penjelasan lebih detail karena harus melengkapi sejumlah poin. "Mekanismenya sedang dibahas," tuturnya.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, BLT akan menjadi bantuan sosial yang efektif untuk memastikan jaring pengaman sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah menggaet asosiasi dan perusahaan terkait pekerja informal dan UMK. Misalnya, perusahaan aplikasi transportasi daring Gojek dan Grab. "Mereka bisa diminta mendata mitra yang memang sudah terkena dampak," ujar Rusli.
Dampak itu bisa terlihat dari saldo mitra sejak beberapa pekan atau bulan terakhir. Apabila saldo mereka berkurang secara signifikan hingga batas tertentu, perusahaan dapat melaporkannya ke pemerintah sebagai pihak yang terdampak. Skenario serupa juga bisa diterapkan ke sopir taksi yang selama ini mendapatkan upah berdasarkan performa.
Namun, Rusli menekankan, perusahaan juga harus berhati-hati dalam mengidentifikasi. Jangan sampai mitra atau sopir memanfaatkan momentum ini untuk mendapat keuntungan lebih. "Misalnya, akun yang sudah lama mati, tiba-tiba aktif lagi karena hanya ingin mendapatkan BLT," ucapnya.
Tantangan lebih besar akan dirasakan saat harus mendata pekerja informal harian dan UMK yang tidak terafiliasi dengan perusahaan mana pun. Sebut saja kuli bangunan harian, penjual gorengan, dan pedagang di toko kelontong.
Untuk kelompok masyarakat itu, Rusli menganjurkan pemerintah memanfaatkan keterlibatan RT/RW dengan mendata warga di lingkungan mereka. Apabila ada rumah tangga yang terdampak, mereka bisa melaporkan ke kelurahan untuk diverifikasi kembali. "Sekaligus warga yang belum punya rekening bank daerah didaftarkan supaya penyaluran BLT lebih mudah," ucapnya.
Rusli mengakui dibutuhkan proses panjang untuk mengidentifikasi dan mendata penerima BLT di sektor informal maupun UMK. Namun, jika dilakukan secara masif dan koordinatif, proses ini hanya memakan waktu sepekan.
Ketika BLT sudah disalurkan, Rusli mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan persediaan bahan pokok, seperti beras dan telur. Komoditas penting ini harus dipastikan terus tersedia di pasaran dan dijual dengan harga terjangkau oleh masyarakat. "Suplai jangan terhenti. Harus seimbang antara demand dan supply," tuturnya.
Sebelumnya, pada Kamis (26/3) Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menyebutkan rencana pemerintah menyalurkan BLT kepada pekerja informal dan UMK guna menjaga daya beli mereka. Rencana ini juga pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa (24/3).