Kamis 02 Apr 2020 09:53 WIB

Tepatkan Pilihan Jokowi Terapkan PSBB? Ini Analisis Yusril

Yusril menyarankan pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk.

Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Sapto Andika Candra

Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat Keppres No 11/2020 tanggal 31 Maret 2020 telah memutuskan status Darurat Kesehatan untuk menghadapi pandemi Corona. Kemudian disusul dengan terbitnya PP nomor 21/2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama.

Baca Juga

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain.

"Dengan PP PSBB ini Pemerintah Daerah, Pemkab, Pemkot dan Pemprov dengan persetujuan Menteri Kesehatan (Menkes) dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB," ujar Yusril saat dihubungi melalui pesan singkatnya, Kamis (2/4).

Yusril melanjutkan, dengan pemberlakuan PSBB itu maka daerah berwenang melakukan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Namun pelaksanaan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu daerah. Yusril menanyakan, daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya. Sebab, suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya.

"Apakah untuk efektivitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu Pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP nomor 21 Tahun 2020 ini," terang Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) tersebut.

Sementara, Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. Pemda, kata Yusril, paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP.

"Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan karantina wilayah sebagaimana diatur  Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018," jelasnya.

Yusril menilai, karantina wilayah hampir sama dengan lockdown yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Filipina. Suatu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu. Ia berpendapat, pemerintah memang tidak memilih menerapkan karantina wilayah karena mungkin khawatir dengan masalah ekonomi.

"Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah," tuturnya.

Sebab, lanjut Yusril, kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bukan pemda. Bayangkan, jika Jakarta saja dikenakan karantina wilayah, maka pemerintah pusat harus menyediakan sembako untuk sekitar 14 juta orang.

"Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut dan akhirnya kelaparan. Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan. Tentara Filipina akhirnya men-drop sembako ke rumah-rumah penduduk miskin kota," ungkapnya.

Selanjutnya, Yusril menjelaskan, ketentuan selanjutnya terkait PSBB ini, PP 21 Tahun 2020 ini hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU nomor 6 Tahun 2020. PSBB dilaksanakan “paling sedikit” dalam bentuk (a) peliburan sekolah dan tempat kerja (b) pembatasan kegiatan keagamaan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Ketiga hal yang dicakup PSBB ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah baik ada maupun tidak ada PSBB.

"Namun apa yang sudah dilaksanakan itu toh tidak mampu membatasi penyebaran virus corona. Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini," ucapnya.

Lebih lanjut, hingga Rabu (1/4), nampaknya belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah-daerah itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekedar tiga hal dalam PSBB seperti di atas.

"Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan samasekali? Jawabannya tentu wallahu ‘alam, hanya Allah Ta’ala saja yang lebih mengetahuinya," kata Yusril.

Jika dalam dua pekan atau dalam sebulan ke depan PSBB ternyata tidak efektif, apakah pemerintah akan mengumumkan negara dalam keadaan bahaya dengan status darurat sipil? Yusril pun ragu hal ini bisa menyelesaikan masalah. Ia menduga jika keadaan semakin memburuk, pemerintah bakal menerapkan karantina wilayah dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya.

"Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus corona, kecuali memilih menerapkan karantina wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB," tutup Yusril.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menjelaskan, Indonesia saat ini dalam status kedaruratan kesehatan dan memilih menerapkan PSBB. Pemerintah juga sudah membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mendukung penetapan status tersebut

"Semua skenario itu kita siapkan dari yang ringan, dari yang moderat, sedang maupun yang terburuk. Mengenai PSBB, baru saja saya tanda tangani PP-nya dan Keppresnya yang berkaitan dengan itu dan kita harapkan dari yang setelah ditandatangani, PP dan Keppres itu mulai efektif berjalan," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (31/3).

Alasan pemilihan PSBB menurut Presiden Jokowi adalah karena Indonesia punya karakteristik tertentu. Presiden Jokowi juga menekankan, bahwa kebijakan PSBB itu bukanlah kebijakan yang gegabah dan telah dihitung serta dikalkulasi dengan cermat.

"Inti kebijakan kita sangat jelas dan tegas, pertama kesehatan masyarakat adalah yang utama oleh sebab itu kendalikan penyebaran Covid-19 dan obati pasien yang terdampak," ungkap Presiden.

photo
Arti Pembatasan Sosial Berskala Besar - (Infografis Republika.co.id)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement