REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai, idealnya untuk menanggulangi penyebaran wabah virus Corona atau Covid-19 adalah pembatasan sosial berskla besar (PSBB) dan karantina wilayah. Maka, kegiatan sosialnya dibatasi (PSBB) dan keluar-masuk orang juga dibatasi (Karantina).
"Tapi konsekuensi karantina memang lebih rumit. Sehingga PSBB pun sebenarnya cukup, sepanjang nanti teknis dalam implementasinya diperhatikan," ujar Bivitri, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (1/4).
Sehingga, lanjut Bivitri, tidak terjadi pergerakan massa secara masif. Ia melihat, saat ini sudah mulai dilakukan.
Bivitri juga mengaku, baru melihat Surat Edaran Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek tentang pembatasan transportasi. Menurutnya, yang sudah ditetapkan ini cukup, sekarang yang harus bicarakan adalah detailnya.
Misalnya, menurut Bivitri, bagaimana agar koordinasi permintaan PSBB dari daerah bisa direspons dengan baik. Kemudian data apa yang dibutuhkan, dan bagaimana mengkomunikasikan.
Apakah permintaan dari suatu daerah seperti DKI Jakarta, ditolak atau tidak dan apa alasan ditolak atau diterima. "Komunikasi dan informasi Ini yang menurut saya belum jelas dari pemerintah," kritik Bivitri.
Kemudian terkait, pelibatan pihak kepolisian dan TNI dalam mengimplementasikan PSBB, kata Bivitri, Polisi memang aparat penegak hukum. Mereka pelaksana UU 6/2018. Pasal 93 dan 94 sudah jelas mengatur soal sanksi pidana.
Menurut KUHAP penegak hukum pidana memang polisi. Jadi tidak ada masalah jika pihak kepolisian dilibatkan. "Kalau tentara, memang tugasnya bukan keamanan, tapi pertahanan," ujarnya.
Jadi, menurut Bivitri, memang tidak diperlukan, kecuali diminta untuk tugas-tugas Kemasyarakatan. Namun penanganan wabah Corona ini harus dilakukan dengan pendekatan kesehatan, bukan pertahanan dan keamanan.
"Polisi dibutuhkan sesuai tugas dan fungsinya yang memang sudah ada menurut Undang-undang Kepolisian dan KUHAP. Itu sudah cukup diatur dalam UU 6/2018," tutup Bivitri.