Sabtu 04 Apr 2020 16:49 WIB

Politikus Gerindra Kritisi Perppu Nomor 1 Tahun 2020

Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memberi banyak celah moral hazard dalam implementasinya.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Anggota DPR RI Heri Gunawan
Foto: Humas DPR RI
Anggota DPR RI Heri Gunawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Gerindra Heri Gunawan menegaskan, meski kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 terbilang lambat dan bersifat soft, tapi dukungan tetap perlu diberikan. Namun, dia mengkritisi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

"Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memberi banyak celah moral hazard dalam implementasinya, seperti kewenangan tambahan yang diberikan kepada Bank Indonesia, pelebaran lembaga keuangan yang diselamatkan (bank sistemik, bank non-sistemik dan bukan-bank), serta ketentuan imunitas (kekebalan hukum) yang diberikan kepada para pengambil kebijakan dan para pelaksananya," keluh Heri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/4).

Heri menjelaskan, terhadap Perppu, DPR RI hanya diberi hak konstitusional untuk menerima atau menolak saja. Tidak ada hak amandemen. Oleh karena itu, Fraksi Partai Gerindra DPR RI mempunyai dua pilihan.

Pertama memberikan persetujuan dengan catatan DPR RI segera memproses perubahan UU atau Perppu yang telah diterima menjadi UU, begitu UU diundangkan dalam lembaran negara.

"Kedua, tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020," tegas Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.

Selanjutnya, menurut Heri, untuk menolak atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020, DPR bisa menggunakan strategi konstitusional. Di antaranya, menurut Pasal 22 ayat (2), Peraturan Pemerintah Pengganti UU itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Pasal 52 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

"Perppu Nomor 1 Tahun 2020 diundangkan tanggal 31 Maret 2020, sedang Masa Persidangan III DPR Tahun Sidang 2019-2020 dimulai tanggal 30 Maret 2020. Artinya, Presiden harus mengajukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dalam persidangan yang berikut, yakni Masa Persidangan IV DPR," terang Heri.

Heri mengatakan, dalam Masa Persidangan III itulah DPR harus membahas Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan memberikan keputusannya, menyetujui atau menolak. Maka dalam Masa Persidangan IV itu DPR bisa tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020, mengingat pandemi Covid-19 sudah menghilang atau tidak ada lagi. Sementara, sambungnya, untuk penanganan krisis terkait keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan, bisa dilakukan perubahan cepat terhadap UU terkait. 

"Misalnya, untuk pelebaran defisit APBN 2021 bisa dengan mengubah UU Keuangan Negara. Sedang untuk penyelamatan stabilitas sistem keuangan, bisa dilakukan revisi UU PPKSK," tutup Heri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement