REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 9 tahun 2020, tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dalam rangka percepatan penanganan pandemi virus corona (Covid-19).
Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menilai PSBB tidak akan berjalan efektif apabila pemerintah pusat terlalu ikut campur.
"Jika pemerintah pusat terlalu ikut campur bahkan menjadi penentu status PSBB daerah, akan menghambat kecepatan Pemda dalam menekan perluasan dan penularan Covid-19," kata Mufida kepada wartawan, Senin (6/4).
Selain itu ia juga melihat bahwa PSBB hanya bisa efektif dilakukan di daerah yang tidak menjadi episentrum. Sedangkan di daerah yang sudah menjadi episentrum akan sangat berat mengingat persebaran virus sudah sangat luas dan dan sudah banyak korban meninggal.
"PSBB akan efektif bagi daerah jika pemerintah pusat memberikan wewenang yang luas kepada Pemda tapi tetap ikut tanggung jawab atas ketersediaan anggaran, faskes, alkes, APD, obat dan insentif untuk masyarakat terdampak akibat wabah," ujarnya.
Ia memandang seharusnya di saat seperti ini undang-undang otonomi daerah bisa diimplementasikan. Sehingga ada urusan yang menjadi wewenang pemda dan ada urusan yang menjadi kewajiban pemerintah pusat.
"Saatnya Pemerintah pusat dan pemda berkolaborasi dengan cepat dan tepat untuk memotong mata rantai birokrasi demi menyelamatkan ratusan juta jiwa rakyat Indonesia yang tersebar di propinsi, Kota dan Kabupaten di Indonesia," ungkapnya.
Pada pasal 3 Permenkes 9 tahun 2020 menyebutkan bahwa menteri kesehatan yang menetapkan status tersebut dan kepala daerah yang mengajukan permohonan.
Kemudian di pasal 4, Pasal empat, mengenai kepala daerah yang mengajukan permohonan PSBB harus disertai dengan data seperti peningkatan jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu; dan kejadian transmisi lokal.