REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Dalam kondisi normal, jenazah Muslim biasanya diperlakukan sesuai tata aturan yang berlaku, mulai dari dimandikan, disholatkan, dikafankan, dan dikuburkan.
Namun berbeda di saat ini, ketika banyak jenazah yang meninggal akibat terinfeksi virus corona. Keluarga tidak lagi diperbolehkan menyentuh jenazah tersebut jika terbukti positif terinfeksi virus.
Begitu juga dengan kerabat dan kolega yang tidak diizinkan untuk bertakziyah juga sholat jenazah berjamaah.
Akibat semakin meningkatnya jumlah kasus baru virus corona, cendekiawan Muslim terkemuka dan para imam di Amerika Serikat telah mengeluarkan panduan baru tentang cara pemakaman bagi mereka yang telah meninggal karena penyakit tersebut.
Di pinggiran Virginia utara, Daoud Nassimi seorang relawan imam menyampaikan aturan ini kepada keluarga untuk pemakaman harus dilanjutkan selama pandemi. Dia memahami keluarga yang ditinggalkan dari kesabaran dan duka di wajah mereka.
Mereka seharusnya dimakamkan dalam waktu 24 jam tanpa peti mati. Bagi mereka yang telah meninggal karena penyakit ini, yang secara resmi dikenal sebagai Covid-19, tubuh mereka tidak boleh dimandikan dengan air karena takut akan menyebarkan virus.
Pusat Pencegahan dan Pengelolaan Penyakit (CDC) mengatakan tubuh seseorang yang telah meninggal akibat virus corona tidak boleh disentuh, karena kekhawatiran penyakit bisa menyebar. Segala jenis pembersihan dan interaksi dengan tubuh jenazah harus dilakukan dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat.
Beberapa negara bagian dan daerah di negara itu tidak lagi memandikan jenazah dengan air tetapi mensucikannya dengan tayamum (menggunakan pasir atau debu).
"Kami telah mengubah prosedur memandikan jenazah menjadi tayamum," kata Nasir Saleh, yang menjalankan Alfirdaus layanan pemakaman Muslim di Lorton, Virginia.
Jenazah terinfeksi kemudian dibungkus menggunakan kantong untuk menutupi tubuhnya sehingga dapat ditayamumkan. Dewan Fikih Amerika Utara juga mengeluarkan fatwa yang merinci sarannya tentang tata aturan pemakaman.
Dewan telah menyarankan masyarakat untuk mengikuti semua prosedur rutin dalam menguburkan jenazah, tetapi jika mereka menghadapi masalah karena pembatasan pemerintah daerah, mereka dapat melakukan alternatif.
"Aturan umum seperti memandikan dengan air harus tetap dilakukan jika petugas medis mengenakan APD (alat pelindung diri)," kata Yasir Qadhi, Dekan Urusan Akademik di Institut Al-Maghrib di Texas yang juga anggota Dewan Fikih.
Seandainya hal ini tidak dapat dilakukan dan ada bahaya atau keraguan akan menularkan kepada orang yang mengurus jenazah maka tayamum dapat dilakukan. Namun saat bertayamum, mereka tetap harus mengenakan sarung tangan.
Pemerintah AS juga telah menyarankan bahwa setiap pertemuan publik tidak melebihi 10 orang termasuk ketika memakamkan jenazah. Seperti pemakaman di Virginia hanya boleh dihadiri 10 orang.
"Staf di pemakaman itu bahkan tidak mengizinkan lebih dari empat orang berada di kuburan ketika jenazah itu dikuburkan," kata Nassimi kepada Middle East Eye.
“Dalam proses pemakaman dan janazah di negara-negara non-Muslim seperti AS, sudah ada beberapa batasan tetapi sekarang ada jauh lebih banyak," lanjut dia.
Nassimi, yang juga guru besar Islam dan agama-agama dunia di Northern Virginia Community College mengatakan bahwa sementara pembatasan menyebabkan kesulitan bagi anggota keluarga, hukum Islam fleksibel dan memiliki aturan yang mengatur situasi seperti wabah dan pandemi.
"Bagi keluarga itu sulit karena mereka tidak bisa berduka seperti biasanya dan Anda dapat melihat rasa sakit di wajah mereka," kata dia.
Menurut empat mazhab Islam Sunni sholat jenazah tidak membatasi jumlah orang dan dapat dilakukan di lokasi mana pun. Bahkan dapat dilakukan di lokasi pemakaman.
Dewan Fiqih Amerika Utara juga telah mengizinkan pemakaman untuk disiarkan daring. Sehingga memungkinkan mereka yang tidak dapat hadir untuk melihatnya, serta memungkinkan untuk sholat ghaib dilakukan jika almarhum berada di negara lain.
"Saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang [pada pemakaman baru-baru ini] bahwa tidak apa-apa jika kita mendoakan janazah sementara orang-orang tidak berdiri berdampingan satu sama lain. Tidak apa-apa jika kita melakukan pemakaman sementara kebanyakan orang berdiri di kejauhan," ujar Nassimi.
Sementara itu secara terpisah, Inggris belum lama ini mengeluarkan amandemen RUU virus corona yang memungkinkan kremasi wajib jika kematian terus melonjak akibat penyakit ini.
Proses kremasi dilarang dalam Islam yang mengharuskan umatnya dikuburkan. Abu Eesa Niamatullah, seorang imam yang berbasis di Manchester, mengatakan umat Islam harus siap untuk menerima perubahan jika situasinya memburuk.
"Kita semua tahu dengan kemampuan kita untuk mengatasi banyak kematian, terutama bagi umat Islam dengan jumlah proses yang diperlukan dan kesakralan tubuh, bahwa ini adalah bidang utama yang menjadi perhatian," katanya dalam sebuah video.
Namun, dengan situasi di AS yang semakin memburuk, kekhawatiran semakin meningkat bahwa undang-undang kremasi dapat berlaku.
"Kami benar-benar optimis dan berharap bahwa komunitas Muslim tidak harus menghadapi itu. Kami berharap bahwa pemerintah juga bekerja sama dan membuat pengecualian bagi komunitas agama, seperti Muslim, untuk memungkinkan mereka melakukannya dengan cara mereka," katanya.