REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui PBB telah memberlakukan jam malam selama 10 hari yang dimulai pada Jumat pekan ini. Pengaturan jam malam ini diterapkan untuk melawan wabah virus corona atau Covid-19.
Komite Tertinggi Libya untuk Covid-19 dalam konferensi pers di ibu kota Tripoli, Rabu (15/4) waktu setempat, mengatakan semua pasar sayuran dan daging akan ditutup. Namun toko roti dan beberapa toko akan tetap terbuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti dilansir laman Anadolu Agency, Kamis (16/4).
Hanya pejalan kaki yang diizinkan keluar antara pukul 08.00 hingga 14.00 waktu setempat. Ketika keluar rumah, mereka diwajibkan pakai masker. Libya telah melaporkan satu kematian akibat virus dan sembilan pemulihan, sementara total 35 kasus telah dilaporkan sejauh ini. Tercatat kasus pertama corona di Libya terjadi pada 24 Maret lalu.
Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) memperingatkan ada 74 juta orang di negara-negara yang tidak memiliki akses ke fasilitas cuci tangan dasar untuk mencegah penyebaran wabah corona. Pasokan air pipa di 10 dari 22 negara Arab juga tidak memadai.
Badan PBB yang berbasis di Beirut itu mengakui mencuci tangan dengan sabun dan air efektif melawan virus. ESCWA menyebutkan, permintaan air untuk mencuci tangan secara teratur meningkat antara 9 hingga 12 liter per orang per hari. Artinya terjadi peningkatan harian rata-rata 4 hingga 5 juta meter kubik dalam rumah tangga kebutuhan air.
Selain itu, hampir 87 juta orang di banyak negara Arab tidak memiliki akses ke sumber air minum yang baik di rumah-rumah. Badan tersebut menyebut bahwa mereka inilah yang lebih besar mengalami risiko infeksi virus corona.
"Diperkirakan 26 juta pengungsi dan pengungsi internal di wilayah ini juga berisiko lebih tinggi tertular Covid-19 karena kurangnya air, sanitasi, dan layanan kebersihan yang memadai," demikian pernyataan ESCWA.
Sejak muncul Desember lalu di Wuhan, China, virus telah menginfeksi lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia dan merenggut lebih dari 133 ribu jiwa, menurut angka yang dikumpulkan oleh Johns Hopkins University yang berbasis di AS. Lebih dari 510 ribu orang telah pulih.