REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara lebih luas di banyak daerah. Pemerintah pusat tidak perlu menunggu pemerintah daerah mengajukan terlebih dahulu permohonan pemberlakuan PSBB.
"Pemerintah dalam menetapkan parameter kurang jelas sehingga daerah sendiri tidak memahami parameter seperti apa yang menentukan suatu daerah dapat menerapkan PSBB atau tidak. Misal adanya kaitan epidemiologi, lalu kenaikan jumlah, tidak dijelaskan lebih jauh standar acuannya," kata dosen Kesehatan Masyarakat dari Griffith University Australia, Feby Dwirahmadi belum lama ini dalam siaran pers yang diterima Republika.
Feby berbicara dalam forum webinar The Indonesia Democracy Initiative (TIDI) bertemakan "Prospek Perluasan PSBB dalam Menghambat Covid-19" pada yang disiarkan melalui aplikasi video conference. Selain Feby, pembicara lainnya adalah Jalu Priambodo, Ismail Fahmi, dan Netty Prasetyawati.
Pemerintah pusat, kata Feby, lebih mengetahui kondisi perkembangan wabah secara keseluruhan. Alih-alih menunggu, pemerintah bahkan bisa menerapkan PSBB di seluruh Indonesia.
"Pemerintah perlu berangkat dari kelemahan yang dimiliki. Jika sudah mengetahui infrastruktur kesehatan kurang mencukupi, maka pemerintah perlu segera mengambil tindakan tanpa menunggu korban," kata Feby. Dia mencontohkan model penanganan virus corona di Australia yang lebih teknokratis dan minim intervensi politis.
Pemerintah Australia tahu kelemahannya, lalu menerapkan kebijakan berdasarkan kelemahan itu. Misalkan larangan bepergian ke rural area sebab mengetahui fasilitas kesehatan di area tersebut terbatas.
Direktur Eksekutif Instrat, Jalu Priambodo, mengaku heran dengan syarat daerah yang harus menunjukkan data persebaran wabah terlebih dahulu untuk mengajukan PSBB. Menurut Jalu, dalam realitasnya, banyak daerah yang justru tidak dapat melakukan tes sendiri dan menunggu data konfirmasi positif corona dari pemerintah pusat. Jika pola ini dibiarkan, menurutnya, penetapan PSBB akan terus terlambat dilakukan, padahal seluruh data sudah di tangan pemerintah pusat.
Jalu kembali mengingatkan pemerintah bahwa risiko tersebarnya wabah akan semakin besar tanpa adanya intervensi secara lebih ketat. Jalu mengutip data Fakultas Kesehatan Masyarakat Univesitas Indonesia bahwa jumlah yang terpapar virus jika tanpa ada intervensi pemerintah adalah 2,5 juta penderita. Sedangkan dengan intervensi maksimal jumlah penderita dapat ditekan menjadi 500 ribu orang.
Baik skenario intervensi minimal dan maksimal, kebutuhan tempat tidur rawat inap dan ICU pada puncak wabah akan melebihi kapasitas dari rumah sakit rujukan Covid-19. Sebagai contoh di Jawa Barat, dibutuhkan sedikitnya 2.632 tempat tidur rawat inap dan 1.133 ICU jika intervensi dilakukan maksimal. Jika tanpa intervensi, diperkirakan jumlahnya berkali lipat menjadi 13.252 rawat inap dan 5.300 ICU. "Jumlah ini jauh di atas kapasitas 8 rumah sakit rujukan yang ditetapkan di Jawa Barat yang sementara ini hanya menyediakan 2.800-an bed rawat inap dan 100-an ICU," kata Jalu dalam kesempatan yang sama.
Upaya Jawa Barat mengajukan area Bodebek dan Bandung Raya sebagai area PSBB merupakan langkah logis. Data pengidap virus corona di Jawa Barat menunjukkan bahwa 50 persen kasus terjadi di area Bodebek dan 30 persen terjadi di Bandung Raya. Dengan upaya intervensi maksimal, Jawa Barat dapat menekan membeludaknya jumlah pasien yang butuh perawatan intensif.
Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyarankan agar kepala daerah meningkatkan kesadaran warga menghadapi virus corona. Peran komunikasi kepala daerah dalam hal ini menjadi poin krusial. Kepala daerah harus mengembangkan kepercayaan publik yang dibangun atas dasar transparansi. "Dari data bisa dilihat bahwa trust publik cenderung meningkat ketika kepala daerah membuka data penyebaran positif, ODP dan PDP secara transparan," kata Ismail dalam webinar tersebut.
Sebaliknya, ketakutan justru meningkat ketika meragukan hasil pemeriksaan virus corona yang cenderung ditutupi. Menurut Ismail, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Ganjar terbukti mampu mendapatkan trust publik melalui keterbukaan data. Sedangkan, Khofifah Indar Parawansa unggul dalam mendorong antisipasi publik terhadap wabah melalui pesan yang bersifat motivasional.
Pola komunikasi yang kurang baik diakui oleh Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetityani Heryawan. Legislator asal Dapil Cirebon ini mengatakan, sejak awal Januari pemerintah sudah diperingatkan DPR tentang adanya wabah flu Wuhan. "Waktu itu belum dinamakan Covid-19. Akan tetapi, respons pemerintah seakan meremehkan," kata Netty.