REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah menandakan babak baru dalam perjalanan dakwah Islam. Rasulullah SAW kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar--umat Islam setempat.
Pada tahun pertama, beliau dan umumnya kaum Muhajirin masih menghadapi berbagai dinamika tentang keseharian di kota yang dahulu bernama Yastrib itu. Apalagi, tak semua Muslimin hidup dalam kondisi berkecukupan. Banyak orang Muhajirin yang meninggalkan harta benda mereka di Makkah demi dapat berhijrah.
Perlahan-lahan, kondisi kaum Muhajirin mulai membaik. Mereka dapat menjalankan rutinitas dengan normal, yakni mencari nafkah melalui bekerja atau berdagang. Secara umum, kondisi Muslimin terbilang mulai sejahtera.
Pada tahun kedua hijriah, turun wahyu yang mewajibkan zakat atas diri kaum Muslimin. Harta-benda yang dizakati meliputi beragam wujud. Di antaranya adalah hewan ternak, emas dan perak. Hasil pertanian juga menjadi harta yang dizakati. Misalnya, gandum, anggur kering (kismis), dan kurma.
Zakat pada prinsipnya mengajarkan semangat berbagi dan peduli. Dengan berzakat, maka timbul solidaritas antara kaum papa dan berpunya, yakni sebagai sama-sama umat Islam. Orang yang tadinya menerima zakat pun didorong untuk lebih berdaya sehingga kelak termasuk golongan yang wajib berzakat.
Kewajiban zakat tak hanya bagi Muslimin di Madinah, melainkan mana saja. Suatu waktu, Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah di Yaman. Beliau pun memberikan nasihat kepadanya. Di antaranya adalah ihwal kewajiban zakat. Pesan Nabi SAW: “Sampaikan bahwa Allah telah mewajibkan zakat kepada harta benda mereka, yang dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka.”