REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Rata-rata vonis koruptor sepanjang 2019 hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Demikian hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai tren vonis itu tidak memberikan efek jera yang nyata terhadap koruptor.
"Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Ahad (19/4).
Selain pidana penjara, ICW juga mencatat pidana denda pada 2019 sebesar Rp 116.483.500.000. Lalu untuk pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 748.163.509.055.
"Angka tersebut akan sangat berbanding jauh jika melihat jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 12.002.548.977.762,” rinci Kurnia.
Praktis, kata dia, kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara. Sedangkan untuk tindak pidana suap sendiri yang mana jumlah perkaranya dominan sepanjang pada 2019 ditemukan setidaknya Rp 422.712.229.450.
Secara spesifik, dari 1.125 terdakwa korupsi yang disidangkan, setidaknya 842 orang diantaranya diberikan vonis ringan dan hanya 9 orang diganjar vonis berat. Padahal, regulasi pemberantasan tindak pidana korupsi yang dijadikan dasar pemeriksaan di persidangan memungkinkan untuk menghukum terdakwa sampai pada 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup.
Sepanjang 2019, ICW mencatat setidaknya terdapat 1.019 perkara tindak pidana korupsi yang disidangkan di berbagai tingkatan pengadilan. Dari keseluruhan perkara itu ditemukan 1.125 orang sebagai terdakwa. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya yang mana total perkaranya sebanyak 1.053 dengan terdakwa sejumlah 1.162 orang.
Temuan tersebut, kata Kurnia, terbagi dalam tiga ranah pengadilan. Yakni, 941 perkara disidangkan di Pengadilan tingkat pertama, sedangkan 56 perkara tingkat banding, dan 22 perkara lainnya pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Atas temuan tersebut, ICW merekomendasikan Ketua MA untuk menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Langkah untuk menyusun pedoman pemidaan amat mendesak untuk segera direalisasikan.
"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi,” ujar Kurnia.
Respons KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghargai hasil catatan dan rekomendasi ICW terkait tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi selama 2019 tidak memberikan efek jera yang nyata. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaga antirasuah berharap agar Mahkamah Agung (MA) menerbitkan pedoman pemidanaan dalam memutus perkara.
“KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedomaan pemidanaan sebagai standar Majelis Hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi,” kata Ali Fikri saat dikonfirmasi, Ahad (19/4) malam.
Ali mengatakan, perkara oleh KPK saat ini akan memprioritaskan pada case building antara lain terhadap kasus yang berdampak signifikan pada perekonomian nasional dengan strategi penanganan perkara gabungan pasal tindak pidana korupsi dan TPPU. Bahkan, saat ini sudah didukung dengan satgas asset tracing sebagai upaya memaksimalkan asset recovery dan pengembalian kerugian negara.
Sementara dalam tugas dan fungsi penuntutan, lanjut Ali, KPK saat ini masih dalam proses finalisasi penyusunan pedoman penuntutan. Kelak, dengan adanya pedoman maka setidaknya akan mengurangi disparitas tuntutan pidana khususnya terhadap pidana badan.
“Pedoman tuntutan tersebut dibuat untuk seluruh kategori tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal yang memuat pemidanaan pada UU Tipikor dan TPPU dengan penekanan pada faktor-faktor yang lebih objektif di dalam mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman,” tutur Ali.