REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII), Adinda Tenriangke Muchtar menilai Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) dapat membantu perekonomian nasional. Namun, ia meminta semua masukan dan catatat kritis dari berbagai pihak harus dipertimbangkan dalam pembahasan omnibus law.
Adinda mengatakan, regulasi itu berpotensi meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia. "Salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih," kata Adinda Tenriangke Muchtar dalam keterangan di Jakarta, Kamis (23/4).
Menurutnya, hal tersebut menambah beban biaya dan waktu serta mempersulit perluasan kesempatan lapangan kerja. Dia mengatakan, RUU Ciptaker didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi melalui kemudahan berusaha dan proses perizinan.
Dia berharap, regulasi itu tidak hanya mengatur tentang ketentuan investasi namun juga mengatur ketenagerjaan, lingkungan, industri pertambangan, pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, BUMD serta UMKM.
Adinda mengatakan, terkait bangunan dan logika hukum, RUU Ciptaker berpotensi menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan hierarki tata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Belum lagi, sambung dia, potensi anomali dengan prinsip Omnibus Law yang nantinya akan mengamanatkan ratusan peraturan teknis untuk pelaksanaanya.
"Hal ini pulalah yang membuat pembahasan RUU ini masih harus mengkritisi banyaknya ketentuan yang bermasalah, mengingat potensi dampak negatif serius yang akan ditimbulkannya," tegas Adinda.
Dia mengatakan, kritisi omnibus law diperlukan mengingat aspek ekonomi akan berdampak terhadap aspek lainnya. Dia mengatakan, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks serta dampak dalam aspek lainnya.
"Termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup. Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah,” katanya.
Dia mendesak pemerintah agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan omnibus law. Terlebih di tengah krisis pandemi Covid-19 DPR bersikukuh terus melanjutkan pembahasan RUU ini.
“Para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.