Sabtu 25 Apr 2020 14:39 WIB

Polemik Anjing: Aceh Bermahzab Syafii dan Turki Yang Hanafi

Perlakuan anjing yang berbeda karena pemahaman mahzab fiqih.

Red: Muhammad Subarkah
Rangkain gerobak pemasok makanan untuk personil militer kolonial Belanda  yang akan dikirimkan dari  wilayah Indrapoeri ke bivak militer Belanda yang ada Glieng (Aceh) yang berada  di puncak bukit Peng Apih. TGerobak sengaja ditampakkan seperti  sebuah rumah kayu untuk mencegah serangan musuh. Foto dibuat pada  tahunl 1880.
Foto: gehetna.nl
Rangkain gerobak pemasok makanan untuk personil militer kolonial Belanda yang akan dikirimkan dari wilayah Indrapoeri ke bivak militer Belanda yang ada Glieng (Aceh) yang berada di puncak bukit Peng Apih. TGerobak sengaja ditampakkan seperti sebuah rumah kayu untuk mencegah serangan musuh. Foto dibuat pada tahunl 1880.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nia Deliana*, Mahasiswi Pacasarjana Bidang Sejarah dan Peradaban di Universltas Islam Antarbangsa Malaysia, Tinggal di Turki.

Ketika membaca judul artikel ini, adalah biasa jika ada tanggapan sinis, olokkan, bahkan ketidaknyamanan yang muncul dalam benak para pembaca. Sebelum memulai inti uraian disini, saya ingin mengingatkan bahwa artikel ini tidak ditulis untuk menyinggung keyakinan dan aplikasi ibadah suatu kelompok melainkan lebih pada upaya untuk membandingkan tingkat ‘umran’ antara masyakarat Turki dan Aceh.

Diharapkan tulisan ini bisa untuk membuka kembali gulatan pikiran terhadap realita masyarakat sosial sehingga dapat melahirkan paradigma baru yang akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan ke depan.

Barangkali Anda bertanya mengapa hanya anjing yang menjadi sorotan dalam artikel ini. Ini dikarenakan stigma yang melekat pada anjing dan hubungannya dengan masyarakat pemeluk mazhab syafi’i ini berada pada level lebih buruk dibandingkan dengan hewan lain.

Fatalnya lagi, terutama jika ia melibatkan sentuhan dengan Muslim Aceh. Dan perlu diperhatikan juga, artikel ini tidak bermaksud memberikan lebih banyak penerangan terhadap hadist-hadist dan ayat-ayat seputar Muslim dan anjing yang sudah  begitu jelas itu. Apa yang hendak dipaparkan ini adalah semata mata untuk menyampaikan narasi mengenai sejauh mana kita sudah berbuat selaku seorang Muslim pada seekor anjing.

Rendahan, Menjijikkan, Ukuran Murtad

Anjing adalah kata yang secara automatis menyigapkan kebanyakan orang tidak hanya di Aceh, tapi juga di Indonesia. Secara mayoritas, penggunaan kata anjing hanya sebatas penegasan hasutan, penghinaan dan serangan. Entah sejak kapan posisi hewan yang pernah terkenal sebagai binatang paling setia ini menjadi begitu rendah dalam masyarakat kita. Hewan yang bahkan dalam Islam pun merupakan salah satu paling mulia sebagaimana yang diberitakan dalam ayat-ayat surat al Kahf.

Lebih dari 30 tahun riwayat hidup penulis, hampir tidak ada kalangan masyarakat yang dekat dengan anjing. Jikapun ada, kebanyakannya hanya diperuntukkan untuk kegiatan ‘let bui’ (usir babi) yang dijatuhkan pada setiap hari Rabu. Berdasarkan narasi oral generasi-generasi tua yang pernah saya tanyakan mengenai soal ini menjawab bahwa pada jaman dahulu, barangkali sekitar tahun 1950an ke bawah, beberapa pihak masyarakat diberbagai wilayah di Aceh mengadopsi anjing terutama pada masa panen.

Koloniale geschiedenis voor 1914. Onder: Atjeh en Onderh. Tenker Umar en  gevolg voor zijn woning de Lam Pisang in Indonesië 1896.

Keterangan foto: Masyarkat Aceh dengan rumah panggungnya. Ini foto tentang Teuku Umar dan pengikutnya pada tahun 1896 M.

Pemeliharaan anjing dalam masyarakat Aceh dilakukan untuk menjaga tanaman-tanaman dari serangan-serangan babi hutan. Satu atau dua orang dalam satu 'kampong' dipercayakan untuk mengasuh anjing-anjing tersebut sesuai dengan ajaran-ajaran panutan Mazhab Syafi’i. Di Padang Sakti, Aceh, tempat saya tinggal, terakhir kali kegiatan ‘let bui’ ini dilakukan pada tahun 1990-an.

Dalam kondisi lain, seorang teman perempuan yang menetap di kawasan Jeunib menceritakan pengalamannya dengan seekor anjing. Ayahnya merupakan salah seorang pawang anjing yang ditunjuk oleh kepala 'kampong'. Sebagaimana layaknya ikatan dengan hewan peliharaan, teman perempuan tersebut mengakui rasa sayangnya yang mendalam pada anjing yang kerap bermain dan menyapa di pekarangan rumahnya sejak ia masih kecil.

Anjing miliknya tersebut begitu setia yang dalam beberapa kesempatan menolong keluarganya dari peristiwa pencurian. "Tentu tanpa sentuhan fisik", katanya. Meskipun begitu, ada beberapa masyarakat 'kampong' yang tidak senang. Keluarganya mendapatkan beberapa ancaman jika tidak membuang anjing tersebut jauh dari perkampungan. Akhirnya anjing itu tewas diracun.

Saya tidak bermaksud meletakkan sebuah ‘sifat’ bagi orang Aceh dalam soal sikap pada anjing. Terlalu berlebihan juga jika ada asumsi yang mencirikhaskan masyarakat Aceh dengan kekerasan. Lebih dari itu barangkali merupakan sikap ‘terbatas’ yang mendominasi persepsi dan tingkah laku masyarakat yang mencerminkan bahwa selama hewan ini tidak menginjakkan kakinya dalam rumah-rumah penduduk dan tidak merugikan ketenangan masyarakat sekitar mereka, hidup binatang ini dapat dijamin aman. Kondisi 'tidak ambil pusing' ini pula yang berimbas pada kealpaan stigma ‘menolong’ tidak hanya bagi anjing-anjing tapi juga kucing-kucing jalanan yang terlantar, sakit, dan kelaparan.

Pengabaian ini juga yang menciptakan pseudo-truth (kebenaran palsu) yang kemudian menyebabkan sikap terhadap perbedaan tanggapan menjadi kian buruk. Misalnya sebagaimana yang terlihat pada tahun 2015 lalu saat seorang dosen yang pada awalnya hanya disorot pada inisiatif toleransi beragamanya yang disebut sebut tak sensitif menjadi jauh lebih buruk sejak foto-foto kedekatan 'luar biasanya' dengan seekor anjing mengakibatkan hukuman semakin mudah dijatuhkan padanya.

Tidak hanya sang dosen ditembaki dengan label-label negatif yang barangkali akan melekat dalam ingatan seluruh keluarganya, tapi juga dengan mudah ancaman-ancaman kematian menusuknya. Barangkali bagi masyrakat Aceh dan Indonesia posisi pendidik tersebut perlu disetarakan dengan anjing rendahan yang ia peluk dengan penuh suka yang kemudian memaksanya mengungsi dari kampung halamannya.

Anjing tersebut menjadi ukuran murtad tidaknya seseorang, padahal agama Islam telah jelas mencirikan seorang murtad. Begitu juga dengan seorang muslimah bercadar yang mengasuh 11 anjing d irumahnya juga bisa diperkirakan punya hidup sosial yang tidak aman. Tidak perlu lebih jauh lagi bicara soal hak-haknya yang terdzalimi.

Dalam sejarah masyarakat Indonesia, apalagi Aceh, ada kekurangan kajian mengenai hubungan manusiawi masyarakat dengan hewan. Sepanjang sejarah Indonesia/Aceh, hewan hewan selain anjing dan kucing barangkali telah tercatat secara berserakan dalam berbagai sumber literatur primer dan sekuler. Meskipun begitu, penelitian ekstensif bisa dikatakan tidak memadai sama sekali.

Padahal hewan hewan seperti gajah, singa, beruang, dan hewan-hewan lainnya telah didokumentasikan oleh berbagai ahli flora dan fauna kolonial sejak abad ke-19. Barangkali ini juga menjadi suatu sebab antusiasme terhadap perlindungan hewan tidak terlakoni. Meskipun begitu, foto foto yang sempat didokumentasikan menunjukkan bahwa hubungan masyarakat Muslim lokal dengan hewan tidak menunjukkan persepsi rendahan dan tindak kekerasan, termasuk pada anjing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement