REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh tasawuf Ibnu Arabi menghasilkan banyak gagasan, antara lain teori wahdatul wujud. Akan tetapi, pemikiran itu tak jarang menuai prokontra, terutama dari kaum fuqaha' dan ahli hadis.
Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu 'Arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam.
Bahkan, tidak sedikit yang mengganggap Ibnu 'Arabi telah kufur. Misalnya, Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga 'kafir'.
Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Arabi setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo. Sang penulis al-Hikam itu menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Arabi.
"Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya," komentar Ibnu Taimiyah.
Pengaruh di Nusantara
Di Indonesia, ketersesatan dalam memahami Ibnu 'Araby juga terjadi, khususnya di Jawa. Ini ketika aliran kebatinan Jawa Sinkretis dengan tasawuf Ibnu 'Arabi.
Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu 'Araby. Bahkan di pulau padat penduduk ini, sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan.
Karena itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu 'Arabi, harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif. Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul.
Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul Madaniyah.
Sementara, karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.