REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Intan Pradita, Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak akhir 2019, memaksa banyak pihak untuk mengambil keputusan yang strategis dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini juga berimbas pada bidang pendidikan di Indonesia, yang mana hampir seluruh institusi pendidikan di Indonesia menyikapi pandemi Covid-19 dengan memberlakukan pembelajaran daring.
Pro dan kontra yang terjadi di lapangan justru bukan mengenai apakah konsep pembelajaran daring ini sesuai dengan kebutuhan, melainkan mengenai penyelenggaraan pembelajaran daring yang kemudian memberatkan, baik bagi siswa maupun orang tua. Protes disampaikan karena beberapa hal, yang pertama adalah bahwa guru dianggap hanya memberikan tugas yang sangat banyak kepada siswa.
Kedua, guru dianggap tidak ‘bekerja’ karena orang tua menjadi satu-satunya pihak yang seolah menggantikan guru untuk mengajar anaknya di rumah. Ketiga, toleransi waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal tidak sebanding dengan bobot kesulitan soal yang diberikan. Keempat, didapatinya kasus teknis bahwa ada kesenjangan tingkat awam-teknologi antara guru dan orang tua. Pertanyaan yang perlu kita jawab bersama adalah bagaimana indikator seorang guru mampu mengajar secara daring?
Indikator nasional pembelajaran daring
Sejak 2010, Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan bagi pengajar di pendidikan tinggi untuk mampu mengajar secara daring. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan ini kemudian diteruskan melalui Permendikbud No 109 Tahun 2013, yang menyebutkan bahwa PJJ adalah proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.
Peraturan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014 mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Di jenjang pendidikan dasar dan menengah pendidikan jarak jauh dapat melingkupi program mata pelajaran atau bidang keahlian, dan satuan pendidikan.
Untuk program mata pelajaran seyogyanya hanya diselenggarakan dalam 1 (satu) mata pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku, sedangkan untuk program keahlian diselenggarakan pada 50 persen lebih dari mata pelajaran. Untuk satuan pendidikan, diselenggarakan pada satuan pendidikan yang seluruh mata pelajarannya dilaksanakan secara jarak jauh.
Modus penyelenggaraan PJJ meliputi modus tunggal (fully online learning), modus ganda (blended learning), modus konsorsium dengan jejaring kerja sama nasional dan/atau internasional. Materi yang diberikan dapat berupa pembelajaran mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, tutorial, dan response dengan berbagai sarana komunikasi sinkronus atau asinkronus, penugasan, latihan, dan praktikum.
Peran pendidik sendiri meliputi perancangan program pembelajaran, penyusun materi dan media ajar, pengunggah, evaluator, dan tutor. Pengawasan atas pelaksanaan PJJ dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, terdapat 65 perguruan tinggi (PT) yang telah menetapkan PJJ dengan hasil monitoring evaluasi yang baik.
Hal ini dikarenakan PT cenderung tidak mengalami kesulitan pembiayaan operasional. Sedangkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, terdapat beberapa temuan yaitu guru dihadapkan pada situasi yang sulit untuk meregulasi komitmen dan mencapai tujuan pembelajaran dengan maksimal ketika minim tatap muka.
Dengan kurangnya pembiayaan investasi, personal, dan operasional, hal ini berdampak pada kualitas materi ajar. Singkatnya, bagaimana pendidik bisa membuat video tutorial yang kontekstual jika tidak didukung perangkat yang memadai.
Komitmen dan ketersediaan perangkat teknologi yang dimiliki siswa juga menjadi temuan di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada saat pembelajaran tatap muka saja, terdapat beberapa siswa, atau jika dalam kondisi khusus, justru terdapat sebagian besar siswa yang belum mandiri untuk belajar.
Dari fenomena ini, pendidik tidak memiliki ruang gerak yang eksploratif. Jalan tengah yang dipilih adalah dengan pemberian penugasan dengan materi berupa file bermuatan kecil. Namun demikian, merujuk pada kebijakan pemerintah penekanan mekanisme pembelajaran daring adalah dengan tutorial.
Terdapat banyak sumber belajar yang bisa digunakan dengan pembiayaan yang tidak mahal namun mampu memfasilitasi bentuk tutorial. Institusi pendidikan seharusnya memfasilitasi staf pengajarnya untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran daring.
Perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan sekolah untuk dapat menyediakan media ajar yang mudah diakses siswa sekolah dan guru. Dengan demikian, referensi ajar akan semakin banyak. Satu hal yang perlu lebih disiapkan adalah kesadaran belajar mandiri siswa yang seharusnya sudah dibentuk sejak jenjang pendidikan dasar dan usia dini.
Tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah, tetapi juga orang tua di rumah. Yang terbaik yang mampu dilakukan pendidik saat ini adalah saling bekerjasama dan beradaptasi dengan keadaan. Meskipun demikian, media komunikasi sampai saat ini belum mampu menggantikan sisi humanis seorang pendidik.