REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat pemasangan alat kontrasepsi keluarga berencana selama masa pandemi Covid-19 menurun hampir 50 persen. Sekretaris Jenderal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Budi Wiweko mengatakan pemerintah perlu membuat kebijakan khusus untuk menyesuaikan kondisi yang ada saat ini.
Menurutnya, kondisi yang ada saat ini merupakan situasi yang luar biasa. Oleh karenanya, dibutuhkan kebijakan yang baru dan sesuai dengan yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
Sebenarnya, lanjut Budi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah terkait menjaga agar tidak ada kenaikan tiba-tiba jumlah kelahiran pascapandemi. Cara pertama adalah mengonversi metode kontrasepsi jangka pendek menjadi jangka panjang.
"Saya kira yang menjadi sebuah alternatif untuk kita sampaikan kepada masyarakat, pertama adalah tetap dianjurkan agar para akseptor KB ini menggunakan satu konversi pada metode kontrasepsi jangka panjang," kata Budi, dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/5).
Alat kontrasepsi jangka pendek yakni pil atau kondom. Sementara jangka panjang termasuk suntik implan dan IUD. Pada masa pandemi seperti saat ini, suntik bisa diganti dengan implan yang bisa bertahan sampai tiga tahun atau spiral yang bisa bertahan hingga lima tahun.
Cara kedua, lanjut Budi, bagi mereka yang tidak mau beralih pada metode kontrasepsi jangka panjang, dianjurkan agar bisa memilih kontrasepsi yang dilakukan sendiri. Contohnya adalah dengan meminum pil KB.
"Pil KB kan tidak perlu melakukan kunjungan. Sekali datang dia bisa mengambil pil untuk tiga bulan, bahkan enam bulan sekaligus. Itu sangat mungkin dilakukan," kata dia menjelaskan.
Selanjutnya adalah cara yang ketiga, yaitu memanfaatkan edukasi melalui telekonsultasi atau telemedis. Melalui cara tersebut, fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) harus mengedukasi masyarakat, yakni perempuan usia subur mengenai pentingnya kontrasepsi.
Pada masa pandemi ini, masyarakat diminta untuk tidak banyak pergi dan berkumpul. Terkait hal ini, sebenarnya bisa dilakukan pengaturan agar para klien KB ini tidak datang secara bersamaan atau melakukan antrean panjang.
Antrean klien KB ke Fasyankes bisa diatur sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Jumlah masyarakat yang datang juga bisa dibatasi agar tidak terlalu menumpuk dan berisiko meningkatkan penularan Covid-19. Pilihan ini juga bisa dikombinasikan dengan telekonsultasi dan telemedis.
Ia menegaskan, pemahaman mengenai kontrasepsi ini sangat penting dijelaskan kepada masyarakat. Sebab, apabila tidak dilakukan sosialisasi yang baik bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi masalah lain pascapandemi yaitu angka kehamilan yang tidak terkendali.
"Angka kehamilan yang tidak terkendali, atau total fertility rate kita yang sudah mulai turun ke 2,23 menjadi naik kembali. Ini terlalu risky buat kesehatan reproduksi," kata Budi menegaskan.
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengungkapkan, pihaknya telah menghimpun data jumlah pemasangan alat KB yang menurun selama wabah Covid-19. "Setiap bulan kami mengumpulkan data penggunaan alat KB seperti susuk, pil dan trennya menurun hampir 50 persen. Kalau penurunan penggunaan alat KB terus terjadi dalam tiga bulan maka angka kehamilan bisa naik 10 hingga 20 persen," kata dia.
Padahal, pihaknya mendorong pasangan suami istri (pasutri) untuk menunda kehamilan di masa pandemi ini. Sebab, kehamilan selama wabah virus ini bisa menyebabkan beberapa hal. Termasuk penurunan daya tahan tubuh yang bisa mengakibatkan rentan terinfeksi Covid-19.