REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pertanian Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja meminta pemerintah untuk tidak mengandalkan penuh lahan rawa atau gambut dalam menjalankan program cetak sawah. Pasalnya, dibutuhkan biaya yang besar untuk menjadikan lahan gambut menjadi area persawahan. Di satu sisi, penggunaan lahan gambut secara berlebihan akan merusak ekologi.
"Kita selama ini terlalu fokus pada lahan sawah yang dilengkapi sistem irigasi. Memang produktivitasnya bisa tinggi. Tapi lahan kering juga perlu dikembangkan lagi," kata Ronnie kepada Republika.co.id, Selasa (5/5).
Ia menyebutkan, mulanya sistem budidaya padi di Indonesia didominasi oleh lahan kering dan banyak digunakan pada awal era 1970-an. Selanjutnya, para petani mulai mengadopsi lahan sawah dengan kelengkapan sistem irigasi yang banyak dikembangkan oleh negara-negara kawasan Indochina seperti Vietnam.
Sesuai keterangan Kementan, lahan-lahan baru yang akan dicetak akan menggunakan milik Badan Usaha Milik Negara di bidang pertanian dan perkebunan. Totalnya, seluas 600 ribu hektare di mana terdiri dari lahan basah yang merupakan area rawa serta lahan kering.
Ronnie menilai, hal itu bisa dilakukan terutama milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Hanya saja, dibutuhkan pembangunan irigasi yang memakan biaya dan waktu. Di sisi lain, BUMN klaster pangan yang memiliki lahan pun tidak mempunya dana yang besar.
"Bagus keinginannya karena banyak lahan yang tidak termanfaatkan, tapi jangan terpaku pada lahan gambut saja. Itu akan sangat berat," kata Ronnie.
Ia pun meminta agar Kementerian Pertanian bersama para pemangku kepentingan terus mengembangkan riset untuk pengembangan padi lahan kering. Sebab, ketersediaan lahan kering amat besar dan banyak yang terbengkalai.
Sementara, lahan gambut sendiri memiliki fungsi ekologi untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan. "Gambut ada memang untuk gambut, bukan untuk dibudidayakan. Justru gambut bagus untuk tanaman selain padi," ujarnya.