Rabu 06 May 2020 14:56 WIB

Menkeu: Konsumsi Bisa Kontraksi Lebih Dalam pada Kuartal II

Perlambatan konsumsi terjadi karena PSBB di Pulau Jawa, penyumbang 55 persen PDB.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Warga berbelanja ikan segar pada hari terakhir Meugang Ramadhan di pasar Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Kamis (23/4). Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal pertama.
Foto: ANTARA/ampelsa
Warga berbelanja ikan segar pada hari terakhir Meugang Ramadhan di pasar Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Kamis (23/4). Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal pertama.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua akan mengalami kontraksi lebih dalam dibandingkan kuartal pertama. Sebab, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jakarta maupun provinsi lain di Pulau Jawa baru intensif dilakukan pada awal-awal kuartal kedua.  

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga kuartal pertama hanya tumbuh 2,84 persen. Pertumbuhan ini melambat signifikan dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang masih tumbuh hingga 5,07 persen.

Baca Juga

Sri mengatakan, tekanan tersebut sudah terjadi meskipun kebijakan physical distancing untuk menekan tingkat penyebaran virus Covid-19 sebenarnya baru dilakukan pada Maret. "Jadi, bayangkan kuartal kedua, di mana April dan Mei ada PSBB yang meluas, maka konsumsi pasti mengalami drop jauh lebih besar," tuturnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR secara virtual, Rabu (6/5).  

Apalagi, Sri menekankan, kontribusi Jakarta dan Pulau Jawa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hampir 55 persen. Apabila dinominalkan, nilainya sekitar Rp 5.000 triliun dari total PDB yang sebesar Rp 9.000 triliun. Artinya, ketika daerah-daerah itu memberlakukan PSBB, sudah pasti konsumsi tidak tumbuh, atau bahkan kontraksi.

Sri mengakui, bantuan sosial untuk hadapi dampak Covid-19 yang sudah dianggarkan Rp 110 triliun tidak akan menutupi kontraksi tersebut. Sebab, angkanya sudah terlampau besar. "Turun 10 persen saja (dari Rp 5.000 triliun), itu berarti sudah bicara angka yang besar," katanya.

Oleh karena itu, Sri mengatakan, pemerintah mengantisipasi untuk masuk ke dalam skenario yang sangat berat. Dalam skenario ini, pemerintah memproyeksikan ekonomi sepanjang 2020 tumbuh negatif 0,4 persen, merosot dalam dibandingkan realisasi 2019, 5,02 persen.

Skenario tersebut diberlakukan mengingat konsumsi rumah tangga berkontribusi besar pada ekonomi Indonesia. Pada kuartal pertama ini saja, peranannya mencapai 58 persen terhadap PDB.

Tapi, Sri menuturkan, skenario tersebut terjadi apabila memang Indonesia dan dunia belum bisa recover dari pandemi pada kuartal ketiga dan keempat. Dampaknya, PSBB belum berkurang sehingga aktivitas ekonomi masih sangat terbatas. "Kalau itu dilakukan, kita masuk ke skenario sangat berat," ujar Sri.

Dalam situasi ini, Sri memastikan, pemerintah tetap fokus pada tiga prioritasnya. Mereka adalah menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat, memastikan jaring pengaman sosial serta membantu dunia usaha menghadapi tekanan dari dampak Covid-19.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement