Jumat 08 May 2020 04:00 WIB

Jelang Masuk Islam, Mualaf Zan Christ: Tuhan Begitu Dekat

Mualaf Zan Christ merasakan kedekatan dengan Tuhan menjelang bersyahadat.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Mualaf Zan Christ mengaku diberkati Allah SWT atas anugerah hidayah-Nya.
Foto: Youtube
Mualaf Zan Christ mengaku diberkati Allah SWT atas anugerah hidayah-Nya.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelumnya, Zan Christ, demikian namanya, seperti orang Amerika pada umumnya, merasa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW tampak begitu jauh. Bahkan, ia sempat mengira Islam merupakan suatu ras atau bangsa Arab itu sendiri. Zan kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat. Ayahnya merupakan seorang pendeta. 

Secara silsilah, ia masih campuran Norwegia-Jerman. Leluhurnya merantau ke Benua Amerika pada permulaan abad modern. Selain dibesarkan dalam norma-norma religius, Zan juga dididik untuk menghargai perbedaan. 

Baca Juga

Ia menyadari Amerika Serikat (AS) sebagai suatu negara yang amat majemuk. Negeri ini dibangun para imigran dari berbagai penjuru dunia, tak jauh berbeda dengan kakek-kakek moyangnya dahulu dari Eropa. Bagaimanapun, pluralitas terkait agama tak begitu didalaminya.

Oleh karena itu, sewaktu masih anak-anak dirinya mengira Islam merupakan identitas bangsa di Benua Asia sana. Pemahaman keliru ini terus melekat di benaknya hingga usia remaja. Zan tumbuh sebagai gadis yang aktif. Di lingkungan gerejanya, ia bahkan didaulat sebagai asisten pengajar. Tiap Ahad, anak-anak sekitar berkumpul untuk mendengarkan Zan menuturkan kisah-kisah religi.

Tibalah saatnya Zan melanjutkan pendidikan tinggi. Sewaktu mengenyam sekolah dasar hingga menengah, perempuan itu selalu berada di daerah tempat kelahirannya, yakni Minnesota, AS.

Adapun kini ia mesti merantau jauh dari keluarga. Sebagai mahasiswi, nalar kritisnya mulai terbangun. Ia menyadari, banyak kawannya yang tak terlalu abai pada religiusitas. Di samping itu, ada teman-temannya yang tetap rutin beribadah. Beberapa di antaranya adalah Muslim.

Sampai di situ, Zan perlahan-lahan tersadar bahwa Islam adalah suatu agama yang menyeluruh. Kenyataan ini semakin menarik perhatiannya sejak suatu kuliah tentang agama-agama besar dunia.

“Saya mengambil kelas Islam untuk belajar tentang sesuatu yang baru bagi saya. Belajar tentang Islam atau agama apa pun adalah upaya yang saya tempuh sebagai mahasiswi. Pada akhirnya, secara personal saya memutuskan untuk (mempelajari) Islam. Bahkan, inilah yang kemudian terkuak sebagai pilihan terbaik dalam hidup saya,” kata Zan Christ saat menuturkan kisahnya, seperti dilansir Muslim Convert Stories.

Setelah berhasil meraih gelar sarjana, ia meneruskan studi ke jenjang magister. Pada tahun pertama di sekolah pascasarjana, Zan memiliki kian banyak teman dan jaringan. Apalagi, kampus tempatnya belajar memiliki banyak mahasiswa internasional. Di antara sahabat-sahabat Zan kala itu, ada yang berasal dari Somalia dan Pakistan, dua negara dengan populasi Muslim yang signifikan.

Zan pun belajar banyak dari mereka tentang apa itu Islam dan bagaimana umat Islam bersifat heterogen di seluruh dunia. Yang mengesankannya, sahabat-sahabat Muslim-nya itu memiliki sifat ramah dan dermawan yang luar biasa. Bahkan, Zan mulai merasa kehidupan mereka tenteram dan penuh visi.

Suatu kali, ia bertanya kepada sahabatnya itu tentang tujuan penciptaan semesta dan kehidupan ini. Mereka berkata, visi kehidupan tiap insan adalah pada Tuhan. Sebab, begitulah Islam mengajarkan umatnya. Hal ini membuat Zan kian penasaran terhadap Islam. Zan menceritakan, dirinya mulai mendalami Islam melalui pendekatan akademis. Sebab, perspektif ini baginya memberikan keleluasaan untuk lebih mengenal objek yang ingin dikaji. 

Untuk itu, ia kerap meminta bantuan kepada sahabat-sahabatnya yang Muslim. Mereka merasa antusias. Tak sedikit yang memberikan kepadanya buku-buku tentang agama ini, khususnya terjemahan kitab suci Alquran. “Saya belajar tentang Islam dan mencoba melihat pemahaman dasarnya,” kata dia.

photo
Mualaf tengah berdoa (ilustrasi) - (onislam.net)

 

Seiring waktu, Zan merasa Islam cocok dengan caranya memandang kehidupan. Ia menyadari, agama ini tak sekadar membicarakan ritual per pekan atau doa-doa, tetapi seluruh aspek kehidupan itu sendiri. Cakupannya juga tak hanya hubungan personal seseorang dengan Tuhan, tetapi juga antarmanusia dan bahkan manusia dengan semesta.

“Saya tahu waktu itu bahwa Islam tepat untuk saya. Namun, saya masih bimbang, belum tahu kapan waktu yang tepat untuk secara resmi menerimanya,” ucap Zan mengenang.

Dalam keadaan seperti itu, ia mengalami suatu hari yang cukup berbeda daripada biasanya. Waktu itu musim panas. Jadwal kuliah dan tugas sedang padat-padatnya. Zan merasa cukup exhausted. 

“Malam harinya, saya merasa keadaan menjadi sangat buruk. Saya pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Maka, saya melangkahkan kaki, mengitari bangunan-bangunan kampus malam itu,” kata Zan.

"Dalam hati, saya merasa, batin ini sedang memanggil Tuhan. Saya merasa bersyukur, memiliki Tuhan sebagai tempat kembali dari segala jerih payah kehidupan ini. Saya merasa waktu itu begitu dekat dengan-Nya. Ini adalah satu momen terindah dalam hidup saya,” kata dia menambahkan. 

Keesokan paginya, Zan menghubungi sahabatnya. Kepadanya, ia mengungkapkan tekad yang kuat untuk memeluk Islam.  

Seakan-akan semesta mendukung. Tak ada kesulitan berarti bagi Zan untuk sampai ke momen itu. Dengan ditemani beberapa sahabatnya yang Muslimah, ia pun menyambangi suatu masjid di dekat kampus. Di sana, ia mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya. 

Saat ini, Zan Christ tercatat sebagai pemateri dalam berbagai forum multi-agama di kampusnya. Keaktifannya dalam isu dialog antarumat beragama kian intens, terutama sejak berhasil meraih gelar dari Hamline University jurusan World Religions. Zan kini sudah berumah tangga. Suaminya, Ather Syed, seorang yang juga aktif dalam kampanye dialog antarkeyakinan di Minnesota.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement