REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Sapto Andika Candra, Antara
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2020 atau sebelum Indonesia diterjang pandemi Covid-19, angka pengangguran di Tanah Air sudah mencapai 6,88 juta. Lalu menurut data Kementerian Ketenagakerjaan per April 2020, sebanyak 2,08 juta karyawan mengalami PHK dan dirumahkan akibat pandemi. Kemnaker mencatat sebanyak 116 ribu perusahaan terpaksa merumahkan dan memutus kontrak pekerjanya.
Pandemi corona belum menunjukkan pasti kapan akan berakhir. Puncak kurva virus corona di Indonesia bahkan belum dipastikan sudah terjadi.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, penurunan aktivitas ekonomi di tengah pandemi Covid-19 berpotensi menambah jumlah pengangguran. Jumlahnya bisa bertambah hingga 4,2 juta orang.
Menteri PPN/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, sampai saat ini, setidaknya sudah 2 juta hingga 3,7 juta orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun dirumahkan. "Bersama dengan itu, akan muncul baris kemiskinan baru yang diakibatkan orang yang kehilangan lapangan kerja," ujarnya dalam pembukaan Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorbangpus) 2020 melalui streaming, Selasa (12/5).
Suharso memproyeksikan, jumlah masyarakat miskin berpotensi bertambah sekitar 2 juta orang pada akhir 2020 dibandingkan September 2019. Dengan begitu, sampai akhir tahun, tingkat kemiskinan diprediksi mampu menyentuh double digit, yaitu 10,2 persen.
Untuk menahan laju pertumbuhan pengangguran, pemerintah menetapkan pemulihan kegiatan ekonomi sebagai fokus pembangunan tahun depan melalui Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2021. Khususnya sektor industri manufaktur, perdagangan dan pariwisata yang kini mengalami terpurukan. Padahal, Suharso menekankan, dua sektor ini memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang besar.
Berbagai program sudah disiapkan dalam RKP 2021. Di antaranya akselerasi industri substitusi impor, peningkatan ekspor hingga pengurangan komponen biaya. “Kami juga usulkan ada gugus tugas untuk promosi dan mendorong digunakannya produk-produk dalam negeri,” tutur Suharso.
Di sisi lain, Suharso menambahkan, pemerintah turut memulihkan kegiatan investasi. Penyederhanaan perizinan dan peningkatan kepastian usaha yang kini terus digencarkan pemerintah diharpakan dapat semakin lebih cepat pada tahun depan.
Perluasan daftar positif investasi dan menekan jumlah positif negatif investasi juga dilakukan. "Bahkan, kalau bisa, kita nol-kan negative list, tapi dengan tetap melindungi industri dalam negeri," ujar Suharso.
Pada fokus pembangunan ini, penguatan sistem ketahanan pangan juga diperhatikan. Terlebih, Suharso mengatakan, Food and Agriculture Organization (FAO) telah mengingatkan, pandemi Covid-19 telah mengancam ketersediaan pangan dunia.
Revitalisasi sistem pangan nasional disebut Suharso menjadi sangat penting. Upaya ini dilakukan melalui penguatan korporasi petani dan distribusi pangan, stabilitas akses pangan dan meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri pangan lokal.
Untuk mengurangi dampak ekonomi Covid-19 di masyarakat, pemerintah berniat kembali melonggarkan pembatasan sosial. Masyarakat dengan usia di bawah 45 tahun akan kembali diberi izin untuk bekerja dan beraktivitas normal. Langkah ini diambil demi mengurangi dampak ekonomi yang lebih luas, terutama angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berpotensi terus meningkat.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyampaikan alasannya di balik rencana pemberian izin bagi warga di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja. Doni mengungkapkan, kelompok usia di bawah 45 tahun memiliki kerentanan tertular Covid-19 yang lebih rendah dibanding kelompok masyarakat dengan usia di atasnya.
"Kelompok muda usia di bawah 45 tahun secara fisik sehat, mereka punya mobilitas yang tinggi, dan rata-rata kalau mereka terpapar, mereka belum tentu sakit. Mereka tidak ada gejala. Kelompok ini tentunya kita berikan ruang untuk bisa beraktivitas lebih banyak lagi, sehingga potensi terkapar karena PHK akan bisa kita kurangi," jelas Doni usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, Senin (11/5).
Doni menambahkan, kelompok masyarakat yang rentan tertular Covid-19 adalah kelompok lanjut usia dan masyarakat yang memiliki penyakit menahun. Seperti diabetes, tekanan darah tinggi, jantung, ataupun gangguan ginjal.
Doni menyampaikan, risiko kematian pasien Covid-19 dengan usia di atas 60 tahun mencapai 45 persen. Sedangkan risiko pasien Covid-19 dengan usia 45-60 tahun yang disertai dengan penyakit bawaan mencapai 40 persen. Menurutnya, dua kelompok usia inilah yang perlu diprioritaskan untuk tidak tertular Covid-19.
"Nah ketika mengingatkan kelompok rentan ini untuk selalu menjaga diri maka kelompok rentan ini pun bisa mengurangi risiko. Dari dua kelompok umur ini, 45 persen usia 60 tahun ke atas, kemudian 40 persen usia 46 sampai dengan 59 tahun berarti 85 persen. Kalau kita bisa melindungi mereka, kita telah lindungi warga negara kita 85 persen," kelasnya.
Doni menambahkan, pemerintah tentu tetap memprioritaskan kesehatan dalam penanganan Covid-19. Namun di sisi lain, ujarnya, pemerintah berkewajiban mengupayakan kesejahteraan ekonomi warganya termasuk dengan mencegah terjadinya PHK.
Pemerintah juga sudah mulai melakukan kajian awal mengenai tahapan pemulihan ekonomi sesuai dengan informasi yang beredar di masyarakat. Tapi, ia memastikan, kesehatan dan keselamatan masyarakat tetap akan menjadi prioritas pemerintah di tengah pandemi Covid-19.
Sri menuturkan, pemerintah terus melakukan kajian terhadap berbagai langkah yang memfokuskan pada penanganan Covid-19, yakni penyebaran dan pencegahan korban jiwa. "Tapi, di sisi lain, kami mengkaji beberapa kemungkinan agar dampak terhadap sosial ekonomi dapat dikurangi juga," katanya dalam konferensi pers Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK) secara virtual, Senin (11/5).
Saat ini, Sri menambahkan, pemerintah sedang mengkaji dengan berbagai pertimbangan. Termasuk mengenai kompetensi kementerian/lembaga untuk dapat melihat dari semua aspek secara seimbang. Yaitu kesehatan, keamanan masyarakat, kegiatan sosial dan ekonomi, bahkan juga religius.
Sri menekankan, tiap langkah yang diambil pemerintah bersifat data-driven atau bergantung pada data. "Artinya, Pak Presiden (Jokowi) melihat apakah ada kemungkinan untuk melakukan tindakan yang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan tetap menjaga kesehatan masyarakat, namun di sisi lain memberi ruang interaksi sosial dan ekonomi dengan apa yang disebut new normal," tuturnya.
Berbagai negara disebutkan Sri telah melakukan kajian yang sama seperti Indonesia. Misalnya saja Inggris, Prancis, Italia dan Spanyol yang mulai mempertimbangkan kebijakan untuk menghadapi new normal.
Sebelumnya, beredar gambar maupun teks informasi yang menjelaskan timeline pemulihan ekonomi yang akan dilakukan di Indonesia secara bertahap. Dimulai pada 1 Juni dengan mulai mengoperasikan industri dan jasa bisnis ke bisnis (B2B) dengan tetap menerapkan social distancing, persyaratan kesehatan dan jaga jarak, termasuk menggunakan masker.
Sampai pada akhirnya, pembukaan tempat-tempat atau kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial dalam skala besar yang ditargetkan berlangsung pada 20 dan 27 Juli. "Pada akhir Juli atau awal Agustus, diharapkan sudah membuka seluruh kegiatan ekonomi," seperti ditulis dalam slide paparan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang beredar di masyarakat.