Rabu 13 May 2020 15:14 WIB

Balada Harga Gula yang tak Kunjung Turun

Impor gula yang tertunda jadi penyebab masih tingginya harga gula.

Jelang Lebaran, harga gula pasir di Tanah Air masih tinggi. Gula pasir masih di kisaran Rp 17.500 per kg, jauh di atas HET sebesar Rp 12.500 per kg.
Foto: Antara/Fauzan
Jelang Lebaran, harga gula pasir di Tanah Air masih tinggi. Gula pasir masih di kisaran Rp 17.500 per kg, jauh di atas HET sebesar Rp 12.500 per kg.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara

Harga gula di Tanah Air belum juga turun. Di pasaran harga gula pasir ada di kisaran Rp 17.500 per kilogram. Harga tersebut jauh dari Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 12.500 per kilogram.

Baca Juga

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tingginya harga gula di pasaran disebabkan adanya beberapa impor yang tertunda. "Gula pasir memang belum turun seperti diharapkan, di pasar tradisional masih Rp 17.650, di pasar modern masih Rp 12.500," kata Airlangga dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, Rabu (13/5).

Airlangga mengatakan masih tingginya harga gula disebabkan ada beberapa impor yang tertunda jadwalnya. Alasannya, di beberapa negara lain terjadi pembatasan akibat lockdown.

Airlangga mengatakan untuk mengatasi hal tersebut, sudah ada pengalihan gula rafinasi kepada pasar. "Tentunya diharapkan dengan pengalihan ini harga bisa ditekan ke bawah. Memang itu yang menjadi salah satu persoalan terkait hal tersebut," jelas Airlangga.

Untuk beberapa komoditas lain, Airlangga menyampaikan terjadi stabilitas maupun kenaikan dan penurunan harga.

Harga beras medium relatif tetap sebesar Rp 11.750 sementara harga beras premium Rp 12.700. Harga daging sapi masih di kisaran Rp 118.000, cabai rawit Rp32.600, cabai merah Rp 27.850, bawang merah Rp 51.950, bawang putih Rp 37.100, minyak goreng Rp 12.000, minyak goreng kemasan Rp 14.750, daging ayam Rp 31.000 dan telur ras Rp 24.000.

Airlangga pun telah menugaskan Satgas Pangan untuk menindak tegas oknum yang sengajamempermainkan harga gula pasir dan bawang merah. Pengawasan oleh Satgas Pangan tersebut untuk menjaga stabilitas harga pangan saat Ramadhan dan menjelang Lebaran ini.

Untuk gula pasir, katanya, Satgas telah mengawasi proses pelelangan gula pasir. “Jika ada yang memanfaatkan situasi, satgas pangan sudah ditugasi untuk monitor setiap saat,” ujar Airlangga.

Tingginya harga gula juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden memerintahkan jajaran kementerian terkait mengungkap penyebab tingginya harga gula pasir dan bawang merah. Dia tak menutup kemungkinan dengan dugaan tingginya dua bahan pokok tersebut karena ada permainan harga yang menguntungkan segelintir pihak.

"Saya ingin ini dilihat masalahnya di mana, apakah masalah distribusi, atau stoknya kurang, atau ada yang sengaja permainkan harga untuk sebuah keuntungan yang besar," kata Presiden rapat terbatas melalui telekonferensi video mengenai Antisipasi Kebutuhan Pokok dari Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/5).

Presiden mengatakan di pandemi penularan virus corona atau Covid-19 ini, masyarakat sedang mengalami penurunan daya beli. Maka dari itu, untuk mengurangi beban masyarakat, seluruh harga bahan pokok harus terkendali dan terjangkau.

Untuk bawang merah, Presiden mencatat harga di pasaran mencapai Rp 52 ribu per kilogram. Padahal, seharusnya harga bawang merah bisa ditekan hingga Rp 32 ribu per kilogram.

Sedangkan, harga gula pasir belum menunjukkan penurunan signifikan, padahal Presiden sudah memerintahkan beberapa kali untuk pengadaan stok dan operasi pasar. "Gula pasir sampai saat ini, saya terus kejar, harga masih Rp 17.000-17.500 per kilogram padahal HET harusnya di Rp 12.500 per kilogram," ujarnya.

Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof. Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis pangan seperti yang diprediksi organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO). "FAO memprediksi akan terjadi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Krisis pangan akan terjadi secara global," katanya.

Ia mengatakan hal itu terjadi karena terhambatnya produksi dan rantai pasok akibat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 seperti lockdown, social distancing, dan lain-lain. Menurut dia, persoalannya bukanlah pada pertanyaan mungkinkah krisis pangan tersebut juga akan dirasakan di Indonesia yang saat sekarang baru panen padi musim tanam pertama.

"Dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, bagi kita yang lebih penting adalah bagaimana menyediakan pangan yang mencukupi, baik secara kuantitatif maupun mutu yang menjamin kesehatan seluruh masyarakat. Penyediaan pangan jangka pendek maupun jangka panjang. Kita belum tahu sepanjang manakah pandemik Covid-19 ini akan memapar," katanya.

Lebih lanjut, Totok mengatakan ada ataupun tidak ada krisis pangan, setiap negara tentu memrioritaskan ketersediaan pangan bagi penduduknya. Oleh karena itu, kata dia, negara negara yang penyediaan pangannya sudah terbiasa bergantung kepada impor, mestinya perlu lebih waspada dan perlu membuat antisipasi lebih keras untuk penyediaan pangan tersebut.

"Beberapa negara sudah memberi sinyal untuk penghentian ekspor pangan, termasuk Vietnam yang biasa mengekspor beras ke Indonesia, juga Rusia yang merupakan pengekspor utama gandum dan bebijian lain," katanya.

Terkait dengan hal itu, dia mengatakan ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi krisis pangan. Antara lain kelompok tani perlu menghidupkan kembali lumbung padi.

"Perlu ada sebagian panen yang disimpan. Jangan sampai semua panen dijual. Apalagi saat ini harga gabah kering panen harganya sedang jatuh, di bawah HPP (Harga Pembelian Pemerintah)," katanya.

Menurut dia, harga gabah kering panen (GKP) di Banyumas saat ini sebesar Rp 3.800 per kilogram, bahkan ada yang Rp 3.600 per kilogram. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020, HPP untuk GKP di tingkat petani ditetapkan sebesar Rp 4.200 per kilogram dan di tingkat penggilingan Rp 4.250 per kilogram.

Sementara HPP untuk gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan Rp 5.250 per kilogram dan di gudang Bulog Rp 5.300 per kilogram, sedangkan beras di gudang Bulog Rp 8.300 per kilogram. "Dinas Pertanian setempat melalui para penyuluh perlu sosialisasi teknologi penyimpanan gabah dan kriteria mutu gabah agar dapat disimpan lama," kata Totok.

Ia mengatakan strategi kedua adalah memanfaatkan semua lahan potensial yang ada untuk produksi pangan, baik tanaman, ternak, maupun ikan.

Menurut dia, lahan pekarangan dan halaman rumah termasuk polybag dapat dimanfaatkan untuk bertanam sayuran. Selain itu, budi daya ikan lele dan sejenisnya dalam ember plastik kombinasi dengan kangkung dan sayuran lain dapat dipraktikkan di halaman rumah.

"Strategi yang ketiga adalah meningkatkan indeks pertanaman (IP) termasuk di lahan sawah. Bahwa secara nasional, kita memiliki luas lahan baku 7,4 juta hektare, luas panen padi kita tiap tahun sekitar 11 juta hektare. Berarti IP rata-rata masih 150," katanya.

Padahal jika dihitung jumlah bulan dalam satu tahun yang sebanyak 12 bulan, kata dia, Indonesia mempunyai potensi mencapai IP300 untuk tanaman semusim yang umurnya kurang dari 4 bulan.

"Artinya, kita masih mempunyai peluang untuk memanfaatkan lahan sawah yang belum maksimal untuk ditanami tanaman pangan. Misalnya, padi, jagung, kedelai, kacang hijau, dan sayuran semusim yang lain," katanya.

Totok mengatakan persoalannya adalah ketersediaan air, sehingga pemerintah pusat maupun daerah perlu didorong untuk membenahi saluran irigasi dan menyediakan teknologi pengadaan air saat kemarau untuk lahan sawah yang belum beririgasi optimal, misalnya dengan sumur pantek dan revitalisasi waduk, danau, dan embung yang ada.

Menurut dia, strategi keempat adalah memanfaatkan lahan-lahan kering tegalan yang belum optimal untuk produksi pangan. Dalam hal ini, jenis tanaman seperti singkong, sorghum, millet, serta juwawut dapat dikembangkan di daerah tersebut karena cukup tahan terhadap kekeringan dan setidaknya dapat menjadi cadangan pangan di pedesaan.

Ia mengatakan strategi kelima adalah memanfaatkan lahan perkebunan yang potensial untuk ketahanan pangan. Perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet dan lainnya yang sedang dalam tahap replanting berpotensi besar menjadi sumber ketahanan pangan.

Setidaknya sampai 4 tahun berjalan atau sampai tanaman perkebunan tersebut mencapai usia produktif, kata dia, lahan di sekitar tanaman replanting dapat dimanfaatkan untuk ditanami padi gogo, jagung, dan kacang-kacangan.

"Jika lima strategi tersebut bisa dilaksanakan serta dilengkapi dengan sistem distribusi dan transportasi logistik yang memadai, kita yakin akan mampu menghadapi kelangkaan pangan nasional. Integritas dan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan tentu dibutuhkan untuk suksesnya kebijakan ini," tegasnya.

photo
DKI dan pemerintah pusat silang pendapat soal penyaluran Bansos. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement