REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makroen Sanjaya*
Di tengah pandemi Covid-19 yang memasuki pekan ke-11, ratusan orang menyemut menyaksikan momen penutupan gerai McD Sarinah, Jakarta, 10 Mei 2020. Publik mengecam aksi ‘konyol’ generasi ambyar itu. Seorang pemimpin redaksi media televisi melebeli aksi sayonara bagi tempat nongkrong kaum muda itu dengan hashtag #covidiot.
Mengapa para “covidiot” itu abai dengan protokol kesehatan dan beleid PSBB? Apakah “kerinduan” akan nostalgia di McD Sarinah lebih mendesak ketimbang keselamatan dan kesehatan mereka? Apakah dengan demikian kita sudah menyerah atau bahkan kalah dalam perang ini? Mampukah kita berdamai dengan Covid-19?
“Drama” penutupan gerai McD Sarinah itu, kebetulan bertepatan dengan munculnya frasa “berdamai dengan Covid-19” yang diwacanakan aktor politik utama negeri ini. PSBB akan dilonggarkan, kegiatan ekonomi, pendidikan dan sosial akan segera dinormalkan, disertai lini masa pelaksanaannya.
Diskursus the new normal bahkan sudah bergaung sepekan sebelumnya. Kampanye dengan judul “Agar diperhatikan kalau perlu dicatat” yang bernada ajakan “berdamai” dengan Covid-19, beredar secara berantai di group WA dan media sosial. Tokoh sekaliber Peter F Gontha, pengusaha besar yang mantan Dubes RI di Polandia pun, mengunggah konten itu di akun Facebook miliknya, Rabu, 13 Mei 2020.
Kosa kata “berdamai” dalam konteks pandemi, sudah dikenal sebagai salah satu strategi dalam komunikasi krisis. Konsep “ketahanan masyarakat dan respons atas krisis” (community resilience and crisis response), dilontarkan Jenni Hyvarinen dan Marita Vos (2016). Dalam The Handbook of International Crisis Communication Research Andreas Schwarrz, et al (eds), Hyevarinen & Vos, menjelaskan makna ketahanan masyarakat sebagai kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dalam menghadapi gangguan.
Adaptasi itu difasilitasi oleh sumber daya seperti sistem ekonomi, modal sosial, dan masyarakat yang kompeten dalam komunikasi dan informasi. Adapun respons atas krisis ditekankan pada ketangguhan yang didapat masyarakat sebagai manfaat dari pembelajaran pandemik, dan merupakan adaptasi berkelanjutan.
Perang atau Damai?
Merujuk konsep ketahanan masyarakat dan respons krisis Hyervarinen & Vos dalam konteks pandemi Covid-19, ada tiga kondisi yang harus dipenuhi Indonesia, agar bisa “menang” maupun “damai”. Pertama, harus difasilitasi sumber daya sistem ekonomi. Kedua, difasilitasi modal sosial, dan Ketiga, masyarakat yang kompeten dalam berkomunikasi.
Dari aspek ekonomi, saat ini lazim dipahami bahwa sistem yang dianut Indonesia masih dianggap rentan, labil dan diwarnai ambiguitas. Sistem ekonomi Pancasila, yang bercirikan kerakyatan dengan koperasi sebagai soko guru ekonomi, tak lagi menampakkan jati dirinya. Liberalisasi pasar dan cengkeraman sistem kapitalisme, alih-alih menciptakan kesejahteraan yang merata, justru menghasilkan ketimpangan sosial yang kian menganga.
UKM yang kala krisis 1998 dinilai kokoh dan tahan banting, pada pandemi Covid-19 ini tumbang berjamaah. Kemenakertrans melaporkan, hingga 12 Mei 2020 ini, angka PHK akibat sengatan Covid-19 sudah mencapai 1,7 juta. Korban PHK ini kian menambah bengkak daftar pengangguran yang pada Februari 2020 sudah mencapai 6,88 juta orang.
Dari aspek modal sosial, beruntung masih ada sisa-sisa solidaritas sosial, meskipun lebih didominasi oleh kalangan menengah ke bawah. Dari pemberitaan media arusutama, dan terutama diekstrapolasi media sosial, sebagian masyarakat kita menampakkan wajah kedermawanannya. Kelompok pengajian di sebuah masjid di Sleman, Yogyakarta, misalnya, mendonasikan makanan bagi siapa saja yang membutuhkan, dengan cara menggantungkan makanan di pagar tepi jalan agar bisa diakses siapa saja yang membutuhkan.
Masih di Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah menjatah ribuan menu sahur dan buka puasa setiap hari, bagi mahasiswa perantau. Hanya sebagian kecil konglomerat, yang biasanya megalomania tampil di media, yang mengulurkan tangan membantu masyarakat. Kelompok usaha Rajawali Corpora misalnya, membagikan jutaan masker, yang sangat diperlukan masyarakat dalam keseharian.
Sedangkan kondisi ketiga, yaitu kompetensi komunikasi dan informasi, inilah salah satu kelemahan terbesar komunikator politik kita. Mengacu terma kompetensi komunikasi dalam teori tindakan komunikatif atau communicative action (Jurgen Habermas: 1984), setiap komunikator harus menyampaikan pesan yang penuh makna (meaningful). Makna, menjadi klaim validitas utama, setelahnya adalah kebenaran, ketepatan dan kejujuran.
Habermas selanjutnya mengidentifikasi tiga fungsi tindakan komunikatif. Pertama, menyampaikan informasi. Kedua, menjalin hubungan sosial. Ketiga, mengekspresikan pendapat dan perasaan seseorang (Edgard: 2006, 22-23). Selama pandemi Covid-19 ini, tindakan komunikatif para aktor politik, justru sering membuat bingung publik. Komunikasi publik para aktor hasil proses politik (dromokrasi) itu menampakkan wajah ketidakkompakan, bias bahkan blunder.
Kampanye “berdamai dengan Covid-19”, tak kalah kontroversinya dengan aksi “covidiot” di McD Sarinah. Iswandi Syahputra, guru besar ilmu komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mempertanyakan perubahan strategi komunikasi dalam menghadapi Covid-19 itu. Dalam akun Facebook, Prof Iswandi mengunggah status dengan kalimat: “Jangankan Hotman Paris, saya juga bingung melihat alur, pola atau model komunikasi pemerintah dalam menangani Covid-19...Positifnya, saya jadi berpikir keras memahami ‘pesan rahasia atau makna filosofis’ di balik anomali berita seperti ini. Perang dan damai, tentu seperti siang dan malam.”
Status Prof Iswandi Syahputera yang diunggah 8 Mei 2020, melampirkan dua link berita dari situs web yang sama tapi dengan judul dan hari yang berbeda: “Jokowi Bunyikan Genderang Lawan Corona” dan “Jokowi Minta Warga Hidup Berdamai dengan Virus Corona.”
Tapi dengan kondisi ketahanan masyarakat dan respons atas krisis seperti digambarkan di atas, maka pilihan alternatif satunya adalah “perang semesta” sekalian menghadapi Covid-19 ini. Mampukah? Dari sisi momentum, kita sudah kalah sejak awal. Respon Indonesia, kalah cepat dengan serbuan Covid-19 yang massif dan kolosal.
“Kecepatan adalah yang esensial dalam perang.” Demikian maestro strategi perang, Sun Tzu, sebagaimana dikutip Paul Virilio dalam “Speed and Politics” (2006:149). Dalam perang, menurut Virilio, negara menggunakan teknik dromologis (kecepatan bertindak) untuk menjalankan kekuasaan, dimana berjalannya fungsi dan terjadinya penggabungan aparatus negara, sebagai modal utamanya. Pemerintah negara seperti itu diprofilkan semacam “spesies mekanis” dari formasi kolektifnya.
Realitasnya, ketika Covid-19 sudah melabrak 60 negara dan Indonesia mengumumkan kasus pertama, 2 Maret 2020, Menkes Terawan Dwi Putranto masih yakin Covid-19 tidak seberbahaya seperti yang dibayangkan orang awam. “Ini virus self-limited disease. Artinya..sembuh sendiri....Kamu lihatlah, Menkes confidence banget kok. Yakin apa yang harus dihadapi. Yang dihadapi ini Corona, bukan barang yang menakutkan yang luar biasa. Yang menakutkan itu beritanya.” Sebelumnya, Menkes Terawan juga tidak menyarankan penggunaan masker oleh orang sehat. Tapi kemudian Gugus Tugas PP Covid-19 justru mewajibkan semua orang mengenakan masker.
Tindakan komunikatif otoritas utama kesehatan itu, bagaimanapun, berdampak secara psikologis pada ketidaksiapan masyarakat, bahkan negara, dalam menghadapi serbuan Covid-19. Protokol kesehatan yang menjadi strategi utama memutus akselerasi persebaran virus, secara susah payah digaungkan oleh semua lini aparatus negara. Itu pun pelanggaran masih berlangsung secara sporadis. Berbeda dengan Taiwan, Vietnam, Thailand dan Korea Selatan yang secara horizontal dan vertikal bergerak bersama perang semesta melawan Covid-19.
*Penulis adalah Ketua Yayasan Cendekia Digital Indonesia dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi SPS Usahid Jakarta