REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Sri Wulan menyebut pemerintah tidak sensitif dengan menaikkan tarif iuran BPJS di tengah pandemi Covid-19. Dia meminta pemeritah mengkaji ulang kebijakakn tersebut dengan melihat situasi yang lebih relevan.
Sri mengatakan, situasi saat ini telah membuat 2,8 juta pekerja Indonesia terancam PHK dan angka pengangguran diprediksi meningkat. Belum lagi, usaha-usaha kecil penopang ekonomi warga juga terdampak Covid-19.
"Kalau pemerintah saja mengatakan ekonomi baru akan kemungkinan mulai pulih pada tahun 2021 maka perkiraan yang sama semestinya dipakai juga sebelum menaikkan iuran BPJS,” kata Sri Wulan dalam keterangan di Jakarta, Kamis (14/5).
Anggota Fraksi Nasdem ini mengatakan, kenaikan iuran tersebut juga akan memberikan dampak terhadap APBN. Dia menjelaskan, meningkatnya jumlah pengangguran dan warga miskin otomatis harus di tanggung oleh pemerintah karena berkaitan dengan hak warga negara yang harus dilindungi berdasarkan undang-undang.
Dia mengatakan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sebelum meingkatkan iuran BPJS. Lebih lanjut, dia berpendapat bahwa kenaikan Iuran BPJS sangat mungkin dilakukan setelah situasi kembali normal dengan diawali perbaikan tata kelola terlebih dahulu.
"Postur ABPN 2020 dan 2021 saja sudah harus disesuaikan dengan kondisi pandemi dan pertumbuhan ekonomi paska pandemi. Anggaran belanja sudah digeser kesana-kemari sehingga benar-benar harus dipertimbangkan dampak kenaikan iuran BPJS ini terhadap APBN, agar defisit anggaran kita tidak berbahaya," katanya.
Dia mengatakan, putusan MA soal pembatalan Iuran BPJS yang lalu terdapat pesan tegas bahwa kenaikan Iuran harus mempertimbangkan aspek Yuridis, sosiologis dan filosofis dari adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional. Menurutnya, aspek itu masih belum berubah dan harus tetap menjadi patokan kebijakan pemerintah.
Dia mengatakan jika merujuk putusan MA maka warga tidak boleh dibebankan dengan kenaikan iuran akibat kesalahan dan kecurangan yang dilakukan pengelola BPJS. Dia menegaskan, putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS itu memberi 2 catatan serius.
Pertama, tidak berfungsinya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk merumuskan kebijakan umum dan singkronisasi penyelenggaraan SJSN. Kedua, kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial.
"Kita belum tahu apa rencana pengelola BPJS dan pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan perbaikannya," katanya.
Dia mengatakan, kenaikan iuran BPJS dalam situasi penurunan ekonomi akibat pandemi covid-19 bisa menjadi bola liar di publik. Lanjutnya, upaya pemerintah untuk menghalau dampak lanjutan dari penurunan ekonomi yang tajam akibat pandemi lewat berbagai insentif bisa terancam gagal.
Seperti diketahui, pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. Kenaikan iuran berlaku untuk kelas I dan kelas II terlebih dahulu. Iuran kelas III baru akan naik pada tahun 2021. Ketentuan itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.