REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Indef Faisal Basri mengatakan bahwa kelonggaran bekerja bagi warga berusia 45 tahun ke bawah perlu diputuskan dengan pertimbangan keilmuan, pendampingan ahli pandemi, dan basis data yang akurat. Terlebih, kebijakan itu akan dilakukan saat kasus Covid-19 di Indonesia belum mereda.
Dalam webinar di Jakarta, Senin (18/5), Faisal mengatakan, kebijakan pelonggaran bisa efektif jika kasus baru harian dan jumlah kematian harian turun secara konsisten dalam satu hingga dua pekan.
"Tapi kemarin angka kematian naik lagi jadi 55 kasus. Jadi angka new cases kita fuktuatif," katanya.
Faisal menjelaskan, kasus aktif yang harus jadi hitungan pemerintah, yakni angka kumulatif kasus Covid-19 dikurangi angka kematian dan angka pasien sembuh. Jika tren kasus aktif turun, pelonggaran bisa dilakukan.
Namun, pelonggaran pun tetap harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengulangi kejadian di Iran di mana negara itu kecolongan terjadi pelonggaran saat kasus aktif mulai menurun. Sayangnya, karena lengah, kasus aktif pun kembali meningkat.
Faisal menegaskan perlu dilakukan tes semaksimal mungkin guna mengetahui kondisi yang sesungguhnya. Tes masif harus dilanjutkan dengan tracing, tracking, kemudian barulah dilakukan treatment. Rangkaian tersebut dinilainya tidak bisa lagi ditawar.
"Nanti di daerah mudik, mereka yang membawa virus itu akan berjejer di lapangan atau tenda untuk perawatan karena tidak ada cukup tempat. Dokter pun sudah lelah karena sudah dua bulan tidak pulang. Maka tolong empatinya juga bagi saudara kita yang sudah disiplin dua bulan," katanya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, pemerintah belum akan melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini. Ia pun meminta agar hal ini disampaikan kepada masyarakat sehingga protokol kesehatan tetap dipatuhi.
Namun, Jokowi mengakui tengah menyiapkan skenario pelonggaran PSBB. Skenario ini baru akan diputuskan setelah mempertimbangkan berbagai data dan fakta perkembangan corona di lapangan.
“Karena kita harus hati-hati, jangan keliru kita memutuskan,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas percepatan penanganan pandemi Covid-19 di Istana Merdeka, Senin (18/5).
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, penentuan apakah suatu daerah siap diberikan pelanggaran pembatasan sosial akan mengacu pada beberapa aspek. Aspek yang dimaksud adalah pertimbangan epidemiologi, kesiapan daerah dalam menekan laju penambahan kasus positif Covid-19, kapasitas fasilitas kesehatan, kesiapan sektor publik, dan kedisiplinan masyarakat.
Pemerintah, ujar Airlangga, tetap mengutamakan kajian epidemiologi untuk melihat apakah sebuah daerah siap dilonggarkan pembatasan sosialnya atau tidak. Pemerintah juga akan dibuat sistem penilaian untuk menggambarkan kesiapan setiap daerah dalam menghapdai pelonggaran pembatasan sosial. Kesiapan daerah dalam memasuki normal baru akan dibagi menjadi lima tingkat.
Level pertama adalah level krisis yang artinya daerah tersebut belum siap memasuki normal baru. Level kedua, level parah yang juga menunjukkan daerah belum siap memasuki normal baru.
"Tapi di Jawa Barat rata-rata tidak ada yang di level paling parah," kata Airlangga.
Level ketiga, bernama level substansial. Keempat, level moderat saat daerah dianggap mulai siap untuk standar normal baru. Level kelima, level rendah (penularan Covid-19) dengan status daerah siap memasuki normal baru.
"Beberapa sektor sedang siapkan scope-nya, standar operating dan prosedur," jelas Airlangga.