Jumat 22 May 2020 14:32 WIB

Jangan Coba-Coba Obati Sendiri Disfungsi Ereksi, Ini Bahaya

Penyakit ini kompleks sehingga membutuhkan pengobatan dari tenaga profesional.

Rep: Adysha Citra Ramadani / Red: Natalia Endah Hapsari
Konsultasikan masalah disfungsi ereksi pada dokter/ilustrasi
Foto: webmd.boots.com
Konsultasikan masalah disfungsi ereksi pada dokter/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Salah satu gangguan yang paling banyak dikeluhkan laki-laki berusia 40 sampai 80 tahun di dunia ini adalah masalah seksual, terutama disfungsi ereksi (DE). The Global Study of Sexual Attitudes and Behaviours (GSSAB) di 29 negara mengungkapkan bahwa jumlah penderita DE terbesar ada di Asia Tenggara dengan persentase 28,1 persen.

Namun, Medical Director PT Pfizer Indonesia dr Handoko Santoso mengimbau laki-laki dengan masalah DE tidak melakukan tindakan mengobati diri sendiri. Alasannya, DE merupakan penyakit kompleks yang membutuhkan penilaian dan pengobatan dari tenaga kesehatan profesional.

"Kami membantu mendukung edukasi pasien untuk mendapatkan pengobatan yang paling tepat dan mencegah pasien dari tindakan meng obati diri sendiri untuk penyakit kompleks, seperti DE," jelas Handoko.

Selain mendapatkan penanganan medis yang tepat dan cepat, Handoko juga menekankan adanya hal terpenting lain yang perlu diperhatikan dalam terapi DE, yaitu komunikasi antara dokter dan pasien. Keduanya diharapkan dapat menciptakan suasana dan jalinan komunikasi dua arah yang baik. Soalnya, masalah komunikasi dokter dan pasien kerap menjadi penghambat nyata dalam pengobatan DE.

Berdasarkan penelitian yang diungkapkan Nugroho sebelumnya, ada empat hambatan yang kerap ditemukan pasien dan dokter dalam berdiskusi mengenai DE. Hambatan pertama adalah hambatan hubungan antara dokter dan pasien sebanyak 12,9 persen. Hambatan kedua adalah hambatan dokter sebesar 22,1 persen. Hambatan dari dokter bisa disebabkan karena dokter mungkin tidak begitu mendalami masalah DE. Untuk hal ini, pasien bisa mencari informasi terlebih dahulu sebelum memilih dokter untuk berkonsultasi.

Hambatan ketiga adalah hambatan pasien sebesar 21,4 persen yang umumnya berasal dari rasa malu pasien untuk membicarakan gangguan seksual yang dialaminya ke orang lain, termasuk dokter. Padahal, pasien tidak perlu merasa malu karena dokter tidak akan membicarakan masalah kesehatan pasien kepada pihak lain.

Sedangkan, yang keempat adalah hambatan struktural sebesar 43,6 persen. Salah satunya disebabkan oleh suasana ruang dokter yang tidak privasi. Misalnya, saat pasien berkon sultasi, dokter masih didampingi perawat perempuan, sehingga pasien merasa malu. "Komunikasi antara dokter dan pasien memegang kunci penting dalam pengobatan DE," papar Handoko.

Komunikasi antara dokter dan pasien, lanjutnya, tidak hanya menunjang keberhasilan pengobatan DE dari segi medis. Komunikasi yang baik juga dapat berdampak positif bagi psikologis pasien. "Ada yang membutuhkan pengobatan, tetapi ada yang juga membutuhkan konse ling," kata Handoko.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement