Jumat 22 May 2020 00:03 WIB

Infeksi Covid-19 Masih Tinggi, Pelonggaran PSBB Dirancang

Saat ini, 1 orang yang terinfeksi secara konsisten bisa menularkan ke 2-3 orang.

Warga memadati pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (21/5/2020). Meski masih dalam penerapan PSBB, sejumlah toko penyedia pakaian mulai ramai dikunjungi calon pembeli menjelang Idul Fitri 1441 H
Foto: MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO
Warga memadati pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (21/5/2020). Meski masih dalam penerapan PSBB, sejumlah toko penyedia pakaian mulai ramai dikunjungi calon pembeli menjelang Idul Fitri 1441 H

Oleh Sapto Andika Candra  

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia sedang mematangkan kebijakan pelonggaran kebijakan sosial agar masyarakat bisa kembali produktif. Langkah ini sejalan dengan 'kampanye' yang digaungkan pemerintah belakangan ini bahwa masyarakat harus bisa hidup berdampingkan dengan Covid-19.  

Baca Juga

Sayangnya, seluruh kebijakan ini digodok justru saat tingkat infeksi Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Pada Kamis (21/5) kemarin, penambahan kasus harian kembali mencapai rekor sebesar 973 orang positif Covid-19 dalam satu hari. Angka tertinggi sejak kasus Covid-19 dirilis pertama kali pada awal Maret 2020.

Rekor ini mematahkan catatan pada Rabu (20/5) dengan 693 kasus. Masih tingginya tingkat infeksi Covid-19 di Indonesia juga disampaikan sendiri oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Kepala Bappenas) Suharso Monoarfa. 

Usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin sore, Suharso mengungkapkan, angka dasar reproduksi virus corona di Indonesia masih 2,5. Artinya, satu orang yang terinfeksi secara konsisten bisa menularkan kepada 2-3 orang lainnya. 

Sebagai informasi, angka reproduksi dasar ini disimbolkan dengan R0. Dalam kajian epidemiologi, besaran R0 memberikan interpretasi mengenai seberapa parah proses penularan suatu penyakit. 

photo
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa - (Republika/Wihdan)

Jika R0 di atas angka 1 maka infection rate-nya masih tinggi. Jika R0 kurang dari 1 maka infection rate-nya terbilang rendah. Indonesia dengan angka 2,5, bisa dibilang masih memiliki tingkat penularan yang cukup tinggi. 

"Tugas kita adalah bagaimana pada waktu tertentu, pada waktu tertentu, kita bisa menurunkan R0 itu, dari yang namanya 2,5 itu atau 2,6 persisnya, itu menjadi di bawah 1. Artinya dia tidak sampai menularkan ke orang lain," ujar Suharso, Rabu (20/5).

 

Dalam rapat terbatas Rabu lalu, Suharso mengungkapkan, memang dirumuskan sebuah protokol baru yang memungkinakn masyarakat kembali produktif, tetapi tetap aman dari Covid-19. Nantinya, pemerintah akan merilis daerah mana saja di Indonesia yang siap melakukan pelonggaran pembatasan sosial. 

Kendati mengakui akan ada kebijakan pelonggaran, Suharso menegaskan. pemerintah masih mempertimbangkan kajian epidemiologi. Pemerintah juga mengacu pada parameter yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

"Jadi WHO memberikan beberapa indikator yang diminta untuk dapat dipatuhi  oleh semua negara di dunia dalam rangka menyesuaikan kehidupan normalnya new normalnya itu dengan Covid sampai kita belum menemukan vaksin," ujarnya. 

Apa saja parameter yang dimaksud? Suharso menyebutkan, setidaknya ada tiga parameter yang harus dipenuhi sebelum kebijakan pelonggaran dilakukan. 

Pertama, tingkat penularan yang rendah. Hal ini digambarkan dalam parameter R0 seperti yang dijelaskan sebelumnya. Suharso mengakui, intervensi tingkat penularan ini belum bisa dilakukan melalui vaksinasi. Satu-satunya kunci adalah dengan melakukan pembatasan sosial. 

"Nah kita sekarang akan menghitung itu untuk semua kabupaten/kota dan seluruh provinsi di seluruh Indonesia. Itu indikator utama yang akan kita gunakan yaitu R0 atau RT (R0 berdasarkan waktu)," jelas Suharso. 

photo
Warga melihat peta peyebaran kasus Covid-19 melalui ponsel pada laman radarcovid19.jatimprov - (Antara/Moch Asim)

Parameter kedua, indikator sistem kesehatan. Poin ini fokus pada kesiapan fasilitas kesehatan di sebuah daerah melayani pasien Covid-19. Indikator kesiapannya, apabila jumlah kasus baru lebih rendah dari total kapasitas kesehatan yang disediakan khusus untuk Covid-19. Setiap fasilitas kesehatan hanya diizinkan mengalokasikan 60 persen kapasitasnya untuk pasien Covid-19. 

"Miisalnya kalau sebuah rumah sakit punya 100 tempat tidur maka maksimum 60 tempat tidur itu untuk covid. Nah pasien baru yang datang itu jumlahnya dalam sekian hari itu harus di bawah 60 orang," kata Suharso. 

Perhitungan ini akan menjadi pertimbangan apakah sebuah daerah diberi izin untuk melonggarkan pembatasan sosial atau tidak. 

Parameter ketiga adalah surveilans. Istilah ini merujuk pada pengujian terhadap sekelompok kerumunan orang apakah mereka berpotensi terinfeksi Covid-19 atau tidak. Bagaimana memastikannya? Suharso menyebutkan bahwa kuncinya adalah pada tes massal. 

Indonesia memang sedang mengebut kemampuan tes massal. Tes massal ini berguna juga untuk memetakan sebaran Covid-19 secara nyata di lapangan. 

"Jadi dengan tiga  indikator itu kita akan menempatkan sebuah daerah itu siap atau tidak. Kalau sudah 14 hari R0 itu posisinya di bawah 1 maka dia siap untuk, daerah itu siap dinyatakan untuk melakukan penyesuaian atau pengurangan PSBB," jelasnya. 

Sayangnya, segala rencana kebijakan ini tidak diikuti dengan ketegasan pemerintah dalam menegakkan pembatasan sosial. Saat PSBB di beberapa tempat masih berlaku, di sana-sini tampak berbagai pelanggaran dilakukan dengan kasat mata.

Belum juga usai pencegahan penyebaran wabah covid-19, warga tampak sudah tidak tahan untuk tetap berkegiatan sebagaimana sebelum wabah. Ketidakdisiplinan warga dalam berkegiatan di tengah keramaian bisa menjadi bom waktu munculnya klaster baru Covid-19. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement