Pandemi Covid-19 turut menghambat pasangan dalam mengakses alat kontrasepsi.
Usia pernikahan Eustachia Retno dan Emmanuel Ricky belum genap sebulan. Pasangan ini baru melangsungkan pernikahannya 18 April 2020 lalu di Serang, Banten, dalam keterbatasan karena Covid-19.
Satu-satunya yang tidak berubah dari rencana Retno adalah tanggal pernikahan.
Sisanya terpaksa menyesuaikan kondisi pandemi. Mengikuti peraturan pemerintah, pernikahan Retno dan Ricky hanya dilangsungkan di gereja, dan dihadiri 12 orang, termasuk petugas.
Covid-19 juga tidak sepenuhnya mengubah rencana pasangan muda ini. Retno mengaku tidak menunda keinginan untuk mempunyai anak, meski dalam situasi pandemi.
"Saya dan suami tidak memiliki keinginan untuk menunda. Dan kebetulan saat ini saya posisinya sudah telat juga … sudah telat sekitar 10 hari," kata Retno kepada Hellena Souisa dari ABC News.
Namun, Retno belum juga berani memeriksakan kandungannya karena khawatir akan penyebaran Covid-19 di Indonesia. "Dokter yang bagus biasanya praktik di rumah sakit. Kalau ke rumah sakit, saya waswas. Jadi sekarang saya masih mencari-cari dokter yang buka praktik di rumah."
Meski demikian, ia merasa situasi pandemi ini juga menguntungkan bagi dia yang hamil muda.
"Sebagai pekerja yang working from home, saya merasa diuntungkan karena nggak perlu izin dari kantor saat sedang mual-mual atau pusing di pagi hari," kata perempuan yang berusia 25 tahun ini.
Perasaan diuntungkan dari kondisi PSBB dan COVID-19 ini juga dirasakan oleh Wenni Ayuningtyas yang tengah usia kandungannya memasuki 13 minggu.
Menurut Wenni, aturan Covid-19 yang membatasi pertemuan dan bekerja dari rumah membuatnya sebagai Ibu Hamil lebih tenang. "Malah beruntung banget, karena nggak perlu berhubungan dengan orang banyak dan tidak perlu naik transportasi umum," kata perempuan yang berprofesi sebagai guru ini.
Dalam kondisi normal, Wenni biasanya menggunakan MRT atau Bus TransJakarta dari rumahnya di Pamulang di Tangerang Selatan ke Jakarta untuk bekerja.
Sama seperti Retno, Wenni dan suaminya, Fikri Aulia Diyotra, awalnya juga tidak berniat menunda memiliki anak karena virus corona yang mewabah.
"Namanya juga pengantin baru. Kami ya mengalir saja, tidak ada rencana menunda atau apa," tutur Wenni.
Retno dan Wenni adalah dua dari sekian banyak perempuan yang hamil di masa pandemi. Beberapa daerah mencatat, terjadi peningkatan angka kehamilan selama tiga bulan terakhir.
Angka kehamilan naik di beberapa tempat di Indonesia
Di Kabupaten Tapanuli Utara, jumlah Ibu Hamil, terutama yang masuk di kelompok pasangan usia subur selama dua bulan terakhir mengalami kenaikan. Menurut catatan Dinas Kesehatan Tapanuli Utara angka ibu hamil bulan Maret Tahun 2020 masih sebanyak 1.502 orang, sementara pada bulan April 2020 naik menjadi 2298.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Tapanuli Utara, Sudirman Manurung, mengatakan, pihaknya sudah mengantisipasi dampak Covid-19 ini melalui layanan Keluarga Berencana.
Kenaikan angka Ibu Hamil juga terjadi di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan, sejak Januari hingga April 2020 jumlah ibu hamil di Kabupaten Pamekasan mencapai 4.280 orang.
Sementara itu di periode yang sama tahun 2019, angka ibu hamil di Pamekasan hanya sekitar 3.500 orang saja.
"Kalau dibandingkan dengan tahun 2019, sedari Januari-April, jumlah ibu hamil masih normal, hanya selisih 500 orang saja dengan yang tahun ini," kata Bambang Budiyono, Kepala Seksi Kesga dan Gizi Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan, seperti yang dilansir Kanal Indonesia.
Terkait kenaikan angka kehamilan di masa pandemi ini, sebelumnya juga beredar jumlah Ibu Hamil di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang naik 105 persen. Namun, belakangan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya Uus Supangat meralat prosentase data kenaikan jumlah ibu hamil di Kota Tasikmalaya yang sempat viral itu.
Ia menyatakan, terdapat kesalahan dalam membaca data. "Selama ini ada kesimpangsiuran data tentang kenaikan ibu hamil sebanyak 105 persen di masa pandemi Covid ini."
"Maka dengan ini Dinas Kesehatan mengklarifikasi bahwa angka 105 persen itu ada kesalahan penyampaian persepsi dalam pembacaan data," kata Uus kepada Kompas.com (8/5/2020).
Ibu hamil di Tasikmalaya pada Januari, Februari dan Maret tahun 2020 berjumlah 3.219 menurut data Dinas Kesehatan dan Dinas PPKBP3A.
Menurut Uus, jumlah kenaikannya masih wajar jika dibandingkan dengan tiga bulan yang sama pada tahun sebelumnya, yakni sekitar 5 persen.
Meski demikian, ada juga beberapa daerah yang mengalami penurunan, salah satunya adalah Sumatera Selatan. Dinas Kesehatan Sumatra Selatan, mencatat sebanyak 75 ribu angka kehamilan selama pandemi Covid-19.
"Dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019, mencapai 83 ribu kehamilan. Artinya (angka kehamilan) mengalami penurunan," kata Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Sumsel, Lisa Marniyati (14/05).
Angka kehamilan yang naik selama masa pandemi diprediksi akan menyebabkan ledakan angka kelahiran sembilan bulan sampai setahun ke depan.
Bisa ada tambahan 300 ribu hingga 450 ribu kehamilan di masa pandemi
Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, membenarkan kemungkinan terjadinya 'baby boom' karena pandemi Covid-19.
Di luar kehamilan yang memang dikendaki seperti yang dijalani Retno dan Wenni, Hasto menggunakan alat ukur sebagai acuan penghitungan estimasi angka kehamilan.
"Prediksi ini secara biologis bisa ada benarnya, karena data di saya penurunan penggunaan kontrasepsi di bulan Maret dan April bisa 10 persen," kata Hasto kepada Hellena Souisa dari ABC News.
"Sedangkan perkiraan saya 10 persen itu bisa mencapai dua sampai tiga juta akseptor."
Menurutnya, bila pasangan usia subur yang putus KB melakukan hubungan seks dua sampai tiga kali seminggu, tingkat kehamilan bisa mencapai 15 persen.
"Jadi 15 persen dari dua sampai tiga juta berarti bisa [ada] 300.000 hingga 450.000 kehamilan."
Mewakili lembaga yang mencatat, memonitor, dan melakukan operasi terhadap masalah penggunaan alat kontrasepsi, Hasto mengatakan bahwa pandemi Covid-19 turut menghambat pasangan dalam mengakses alat kontrasepsi.
"[Pandemi ini] ada pengaruhnya karena KB banyak yang harus berulang dilayani setiap bulan. Ada yang harus ambil pil, suntik, pasang cabut susuk, pasang cabut IUD, operasi vasektomi dan tubektomi. Semua ini sangat terpengaruh."
Akseptor, menurut Hasto, pada umumnya merasa ragu untuk mengunjungi klinik atau fasilitas kesehatan karena takut tertular Covid-19, selain dari mengikuti anjuran organisasi dokter.
"Dan juga karena ada anjuran dari organisasi profesi dokter untuk tidak ke rumah sakit dulu kalau tidak emergency [atau darurat] sehingga akseptor menganggap bahwa KB bukan emergency."
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia