REPUBLIKA.CO.ID, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ منكُم الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Hai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya." (HR Muttafaq 'alaih).
Penjelasan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad, dan Ad-Darimi. Hadits ini bersumber dari sahabat Abdullah bin Mas'ud RA.
Islam tidak mengingkari adanya cinta seorang manusia kepada lawan jenisnya. Ia adalah fitrah dan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi bila waktu pemenuhannya telah tiba. Hanya saja, demi terpeliharanya kehormatan dan harga diri manusia, Islam menyerukan agar pemenuhannya dilakukan dengan cara yang benar, yaitu lewat pernikahan.
Lewat hadits ini Rasulullah SAW menganjurkan para pemuda yang sudah berkemampuan untuk segera menikah. Mampu di sini bisa diartikan mampu secara fisik, keilmuan, mental, ataupun secara finansial. Rasul mencela orang yang hidup membujang ataupun yang menunda-nunda pernikahan karena alasan yang tidak syar'i, padahal ia sudah mampu. Dari Siti 'Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda:
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي، و تَزَوَّجُوا؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ، و مَنْ كان ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ
"Nikah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku, ia tidak termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah." (HR Ibnu Majah).
Abu Dzar meriwayatkan, bahwa Rasul pernah mencela seorang sahabat bernama 'Akkaf bin Basyar At-Tamimi, seorang pemuda kaya tapi enggan menikah:
يَا عَكَّافُ إِنَّكَ إِذًا مِنْ إِخْوَانِ الشَّيَاطِينِ ، إِنْ تَكُ مِنْ رُهْبَانِ النَّصَارَى فَأَنْتَ مِنْهُمْ ، وَإِنْ كُنْتَ مِنَّا فَاصْنَعْ كَمَا نَصْنَعُ ، فَإِنَّ مِنْ سُنَّتِي النِّكَاحَ ، وَشِرَارُكُمْ عُزَّابُكُمْ ، وَإِنَّ أَذَلَّ مَوْتَاكُمْ عُزَّابُكُمْ أَبَى الشَّيَاطِينُ الْمُرْسُونَ
"Wahai 'Akkaf, (kalau begitu) engkau termasuk saudaranya setan. Seandainya engkau beragama Nasrani, engkau termasuk golongan pendeta. Sesungguhnya sunnah kami adalah menikah. Sejelek-jelek kalian adalah orang yang membujang, dan orang yang paling hina dari kalian adalah yang mati dalam keadaan membujang. Apakah engkau bersahabat dengan setan?" (HR Ahmad)
Adapun bagi mereka yang (benar-benar) belum sanggup menikah karena alasan ekonomi, beliau menganjurkan agar ia berpuasa. Sebabnya, puasa dipandang mampu mengendalikan motif seksual dan keinginan yang menggebu kepada lawan jenis. Puasa akan menyebabkan kadar gizi yang dikonsumsi seseorang menjadi berkurang.
Otomatis, hal ini akan menyebabkan hasrat seksualnya melemah. Jadi, puasa dalam konteks hadits ini dianggap sebagai pengalihan dan sifatnya tidak permanen. Di dalamnya termasuk pula ibadah-ibadah yang biasanya menyertai aktivitas puasa tersebut, seperti membaca Alquran, dzikir, doa, dan aktivitas pengalihan lainnya.
Ada sebuah komentar menarik yang diungkapkan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah tentang hadits ini. Menurutnya, Rasulullah SAW. telah menawarkan dua obat untuk mereka yang dimabuk asmara: obat asli dan obat pengganti. Obat asli adalah obat yang memang diciptakan untuk itu. Dan obat ini tidak boleh diganti jika telah didapatkan.
Pendapat ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: لم ير للمتحابين مثل النكاح . "Tidak ada obat mujarab bagi yang dimabuk cinta selain menikah." (HR Ibnu Majah)