Senin 25 May 2020 13:52 WIB

Pandemi Covid-19 Menghambat Perkembangan EBT

Lebih dari setengah juta tenaga kerja energi bersih bisa menganggur.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Fuji Pratiwi
Presiden Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Wabah Covid-19 dinilai berimbas pada perkembangan sektor energi baru terbarukan,
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Presiden Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Wabah Covid-19 dinilai berimbas pada perkembangan sektor energi baru terbarukan,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merebaknya wabah Covid-19 membuat perkembangan energi baru terbarukan (EBT) terkendala. Hal ini tergambar dari konsumsi listrik dunia berbasis EBT sepanjang kuartal pertama yang turun sebesar 2,5 persen.

Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Harris menjelaskan, pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa, termasuk pemanfaatan energi. Kebijakan lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan pada beberapa negara secara signifikan mengurangi permintaan kebutuhan listrik.

Baca Juga

Harris mengatakan, berdasarkan data beberapa pekan terakhir, segmen bisnis daniIndustri mengalami penurunan signifikan, sedangkan segmen rumah tangga tidak. "Dengan kondisi saat ini, kami melihat perlu ada prioritas untuk EBT dan konservasi energi dalam pasca-Covid-19, yaitu perlu stimulus," kata Harris, Senin (25/5).

Berdasarkan analisis Wood Mackenzie, instalasi storage & PLTS global 2020 diperkirakan akan turun hampir 20 persen dibandingkan sebelum Covid-19), instalasi angin (wind) diperkirakan turun sebesar 4,9 gigawatt (GW) (6 persen). Penurunan instalasi EBT dan langkah-langkah efisiensi energi menyebabkan 106 ribu orang hilang pekerjaan pada Maret 2020 di Amerika Serikat. Begitu pun 51 ribu orang pekerja pengeboran dan pemurnian di periode yang sama. Analisis menunjukkan, 15 persen atau lebih dari setengah juta tenaga kerja energi bersih bisa menganggur selama beberapa bulan mendatang.