Selasa 26 May 2020 06:11 WIB

Era ‘New Normal’ Perlukan Belajar Jarak Jauh? 

Segala sendi kehidupan terdampak Corona, salah satunya sektor pendidikan.

Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).
Foto: dok pri
Riko Noviantoro, Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Riko Noviantoro* 

Dampak gempuran virus Corona sungguh luar biasa. Tidak ada negara di bumi ini yang terbukti benar-benar siap. Semua tergagap-gagap menghadapi virus mematikan ini. Kepanikan menjalar dari pemimpin negara sampai kepada rakyat jelata.

Segala sendi kehidupan terdampak Corona, salah satunya sektor pendidikan. Virus Corona telah mengubah model pembelajaran. Secara mendadak, semua negara dipaksa menggelar pembelajaran melalui daring. Mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Semua belajar melalui jaringan internet.

Lembaga pendidikan dan kebudayaan dunia atau UNESCO mencatat data menarik selama pandemi Covid-19. Berdasarkan data UNESCO, pada April 2020 sebanyak 300 juta lebih anak usia sekolah di dunia mengalami hambatan proses belajar. Baik pelajar di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Termasuk Indonesia.

Pemaparan sederhana UNESCO menggabarkan proses pembelajaran daring pun tidak semua negara mampu melaksanakan. Selain itu juga bukti bahwa ketersediaan jaringan internet tidak serta merta memudahkan proses pembelajaran. 

Faktanya praktik pembelajaran dengan daring tidak sederhana yang dipikirkan. Hambatan teknis terjadi di negara mana pun. Mulai dari ketersediaan jaringan internet, pemerataan jaringan internet, kualitas jaringan sampai pada keterampilan menggunakan teknologi bercampur aduk. Semakin memperumit proses pembelajaran yang kemudian berbuah keluhan dan persoalan lain.

Di Indonesia, model pembelajaran berbasis internet juga bukan barang baru. Setidaknya melihat dari instrumen regulasinya. Pemerintah melalui Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah membuka ruang pembelajaran berbasis internet, dengan penyebutan pembelajaran jarak jauh.

Aturan tentang pembelajaran jarak jauh itu dituangkan pada Pasal 31 UU Sistem Pendidikan Nasional. Hal pokok tentang pembelajaran jarak jauh tertuang dalam empat ayat. Itu masih ditambah pula instrument turunannya berupa peraturan pemerintah. 

Praktik pembelajaran jarak jauh memang bervariasi. Pembelajaran jarak jauh dapat berbasis modul, buku bahan ajar, maupun internet.  Pada intinya sama saja, yakni perjumpaan guru dan murid dilakukan tanpa tatap muka secara langsung. Tetapi ada media pengantarnya.

Dari sisi regulasi pembelajaran daring sudah lama dipersiapkan. Pemerintah pun telah melirik model pembelajaran daring sebagai langkah mencapai pemerataan pendidikan. Harapannya sangat jelas, mencapai pendidikan yang berkualitas bagi semua warga negara.

Kini pandemi Covid-19 menguji keandalan pembelajaran daring tersebut. Hasilnya memang tidak menggembirakan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bisa menjadi potret kerumitan pembelajaran daring. KPAI mencatat 213 keluhan dari berbagai daerah terkait pembelajaran jarak jauh ini. 

Jumlah keluhan itu bisa jadi lebih besar. Mengingat pemerataan jaringan internet di Indonesia masih jauh panggang dari api. Daerah di sekitar Jawa pun masih ada keterhambatan. Apalagi di luar Jawa. Hal itu bisa menjadi lebih buruk akibat keterampilan memanfaatkan teknologi internet yang masih belum merata. Baik dari guru, pelajar maupun lingkungan rumah. Hal serupa terjadi pada jenjang sekolah dasar, menengah maupun perguruan tinggi.

Mengingat beratnya mengejar ketertinggalan dalam infrastruktur internet, maka hal ini patut jadi pertimbangan serius pemerintah. Agar pembelajaran daring di era new normal tidak perlu dilanjutkan. Kembalikan saja pembelajaran dengan model tatap muka. Sambil kemudian pemerintah mempersiapkan infrastruktur lebih luas. Sedangkan gurunya juga ditingkatkan keterampilannya. Begitu juga ekosistem lingkungan rumah.

Bukanlah antipembelajaran jarak jauh. Namun pendidikan bukanlah praktik uji coba. Tujuannya harus tercapai yakni mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Sehingga peserta didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagaimana amanat undang-undang sistem pendidikan nasional. Semoga.

*Penulis adalah Peneliti Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP).

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement