REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta pemerintah menjelaskan secara terperinci kebijakan mengenai kenormalan baru. Haedar mengatakan, jangan sampai hal ini membuat kebingungan dalam masyarakat.
"Perlu ada penjelasan dari pemerintah tentang kebijakan new normal (kenormalan baru). Jangan sampai masyarakat membuat penafsiran masing-masing," kata Haedardi Jakarta, Kamis (28/5).
Menurutnya, pernyataan pemerintah tentang kenormalan baru yang disampaikan akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya dan kebingungan dalam masyarakat. Haedar mengatakan, pemerintah harus secara objektif dan transparan menyampaikan kebijakan berkenaan dengan kenormalan baru, termasuk dasar, maksud, dan tujuan kebijakan.
Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan konsekuensi penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta jaminan suatu daerah dikategorikan masuk zona aman Covid-19. Dia mengatakan bahwa ketika pemerintah mengizinkan mal dan pusat perbelanjaan buka dan melarang kegiatan berjamaah di masjid dan tempat ibadah lain, ketegangan bisa terjadi antara aparat pemerintah dengan umat dan jamaah.
Haedar mengatakan, organisasi kemasyarakatan keagamaan sejak awal konsisten melaksanakan ibadah di rumah demi mencegah penyebaran Covid-19. Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengajak masyarakat menerapkan tatanan normal baru atau new normal sebagai gaya hidup. Yurianto mengatakan, ini karena hingga kini, belum ditemukan vaksin maupun obat dari virus Covid-19.
"Namun, kita harus tetap menjaga produktivitas kita agar kemudian dalam situasi yang seperti ini kita produktif dan aman dari Covid, maka diperlukan suatu tatanan suatu kebiasaan suatu perilaku yang baru ini yang kita sebut sebagai new Normal atau kenormalan yang baru," ujar Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (28/5).
Yuri menjelaskan, basis kenormalan yang baru yakni dengan beradaptasi dengan sebaran Covid 19 yang penularannya melalui droplet manusia. Karena itu, basis kenormalan untuk mencegah penularan dimulai dengan menjaga jarak memungkinkan sekitar satu meter.
Namun, jika kondisi itu tidak memungkinkan di fasilitas publik seperti transportasi umum maupun fasilitas lainnya, maka penggunaan masker wajib untuk menghindari droplet. "Cara ini sangat efektif untuk mengurangi penularannya ke orang lain baik secara langsung melalui ludah yang dikeluarkan atau droplet yang mencemari benda-benda yang digunakan secara bersama," ujarnya.
Namun, ia menyadari penggunaan masker pun tidak bisa 100 persen melindungi diri dari penularan Covid-19, jika secara tidak sadar masyarakat menyentuh benda yang sudah tercemar orang yang terinfeksi Covid-19. Karena itu, kenormalan baru lainnya dalam mencegah Covid-19 adalah dengan rajin mencuci tangan.
"Ini semata-mata adalah upaya untuk mengurangi risiko tertular inilah yang kita sebut dengan kenormalan yang baru," katanya.
Ini juga, kata Yurianto, jika diberlakukan di tempat-tempat umum, tempat kerja, sekolah, tempat Ibadah harus memperhatikan semua aspek tersebut. Karena itu, ia mengajak peran semua masyarakat untuk menerapkan kenormalan baru tersebut.
"Ini adalah upaya bersama oleh karena itu seharusnya kenormalan yang baru adalah gaya hidup kita, adalah kebutuhan kita, adalah perilaku kita yang tidak harus kemudian di tekan-tekan disuruh-suruh di perintah-perintah oleh institusi siapapun termasuk oleh pemerintah," katanya.