Senin 01 Jun 2020 18:20 WIB

5 Tuduhan Miring Atas Fiqih Islam dan Bagaimana Menjawabnya?

Terdapat sejumlah tuduhan miring terhadap fiqih Islam.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat sejumlah tuduhan miring terhadap fiqih Islam. Ilustrasi kajian fiqih Islam.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Terdapat sejumlah tuduhan miring terhadap fiqih Islam. Ilustrasi kajian fiqih Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ada berbagai macam tudingan miring, hasutan serta tuduhan tidak berdasar yang dengan gencar diarahkan kepada ilmu fiqih.  

Akibatnya banyak umat Islam yang awam ilmu agama, khususnya yang tidak pernah punya dasar belajar Ilmu Fiqih kemudian menjadi korbannya.

Baca Juga

Bahkan yang lebih parah, menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc  MA dalam bukunya "Menjawab Tuduhan Terhadap Fiqih", para korban ini pun ikut-ikutan menghasud umat Islam dalam rangka memerangi ilmu fiqih, lewat berbagai macam tuduhan palsu dan tidak berdasar. Masih banyak kalangan yang terkena syubhat dalam memandang negatif kepada ilmu warisan Rasulullah SAW.  

Menurutnya, setidaknya ada lima tuduhan terhadap ilmu fiqih. Pertama fiqih memalingkan kita dari Alquran dan sunnah. Kedua para ulama tidak dijamin selalu benar dan bisa salah. 

Ketiga fiqih mengajarkan perbedaan dan perpecahan. Keempat fiqih mengurusi masalah yang remeh dan kelima fiqih meninggalkan ibadah sunnah. 

Terkait tuduhan pertama, Ustadz Ahmad menjelaskan, untuk menjawab tuduhan semacam ini sebenarnya mudah saja. Apalagi kalau dalilnya menggunakan Alquran surat An Nisaa 59 yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul."

Ayat itu kita memang diperintah mutlak untuk mentaati Allah dan Rasulullah dan bukan yang lain, justru dalil itu sendiri malah menjadi jawaban atas tuduhan yang tidak benar. Kalau kita perhatikan ayat itu, sebenarnya ayat itu tidak hanya berhenti sampai di situ tetapi masih ada terusannya. "Terusannya adalah kita diperintah untuk mengikuti ulil amri di antara kalian," katanya. 

Maka lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut. "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul dan ulil amri di antara kalian." 

Ustadz Ahmad Sarwat, menerangkan, umumnya kata ulil amri diterjemahkan sebagai pemimpin, penguasa atau pemerintah. Tafsiran ini memang benar. Namun tafsiran ini bukanlah satu-satunya penafsiran.  

Kita kata dia, akan menemukan beberapa ahli tafsir memaknai ulil amri bukan sebagai pemerintah melainkan maknanya adalah ulama. Salah satunya adalah yang dikatakan Mujahid (w 104 H), salah satu tabi'in senior dan juga ahli tafsir terbesar. "Menurut beliau yang dimaksud dengan uli amri di sini adalah para ulama dan para ahli ilmu syariah," katanya. 

Bila kita menggunakan tafsir ini, maka justru ayat itu memerintahkan kita taat kepada para ulama. Lalu siapakah para ulama? Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka itulah para ulama, yang menjadi ahli waris Rasulullah SAW. Apa yang difatwakan mereka sesungguh tidak lain adalah bagian Alquran dan bagian dari sunnah itu sendiri. 

"Tidaklah para ulama itu bekerja dalam menarik kesimpulan hukum dari Alquran dan sunnah, kecuali atas rekomendasi dari Rasulullah SAW juga. Sebab mereka itu adalah ulama dan ulama adalah para ahli waris Nabi. العلماء ورثة الانبياء

"Para ulama itu ahli waris para nabi. (HR. Ibnu Hibban).

Maka kalau kita ingin mengatakan jangan ikut ulama, tapi ikut nabi saja secara langsung, itu adalah benar. Tetapi dengan syarat bahwa kita ini harus hidup di zaman nabi. Artinya kita ini harus berstatus sebagai sahabat nabi, yang memang hidup di masa nabi, bertemu langsung dengan beliau SAW. 

"Tentu dengan mengikuti para ahli waris beliau. Dalam hal ini bukan ahli waris secara harta dan takhta, melainkan ahli waris secara keilmuan. Dan para ahli waris beliau SAW tidak lain adalah para sahabat," katanya.

Karena kita tidak punya komunikasi langsung kecuali lewat jalur para sahabat, tabi'in dan atbaut tabi'in, maka mau tidak mau kita harus ikut mereka, para sahabat, tabi'in, atbaut tabiin yang nota bena mereka adalah para ulama. "Kalau kita tidak mau ikut mereka, sama saja kita ingkar kepada nabi," katanya.

Dalam kenyataannya kita sekarang ini tidak mungkin mengikuti Allah SWT dan Rasulullah SAW secara langsung. Sebab Rasulullah SAW sudah meninggal 14 abad yang lalu. Kita tidak pernah bertemu dengan beliau. "Kita hanya mungkin bertemu dengan para ahli waris beliau," katanya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement