REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Syihabuddin Qalyubi
Akhir-akhir ini hampir setiap orang membicarakan new normal sebagai fase kelanjutan dari karantina mandiri dan beberapa protokol kesehatan lainnya. New normal secara faktual di lapangan sebagai cara hidup baru di tengah pandemi virus corona. Badan Bahasa sudah memberikan istilah Indonesia-nya, yaitu kenormalan baru. Namun, tampaknya masyarakat lebih senang menggunakan istilah new normal.
Mungkin yang lebih tepat dipakai dalam era new normal itu al-ta’ayusy atau hidup berdampingan (bukan berdamai) dengan Covid-19. Sebab, menurut para ahli epidemi corona akan tetap eksis dalam kehidupan kita, padahal roda perekonomian harus terus berjalan. Umat bergama harus bisa lagi melakukan ibadah di tempat peribadatannya. Para pegawai harus segera masuk kantor lagi. Siswa, santri, dan mahasiswa harus segera kembali ke lingkungan belajarnya. Semua juga orang harus kembali kepada pekerjaan rutinitasnya. Karena itulah, tidak ada jalan lain. Kita harus hidup berdampingan dengan Covid-19 sekalipun tetap bermusuhan.
Inilah yang mendorong kita berkomitmen untuk mempunyai sikap kehati-hatian di semua sektor kehidupan dengan meletakkan protokol kesehatan di atas segalanya. Beberapa waktu terakhir ini, tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan telah meningkat secara signifikan sehingga ada sebagian daerah yang mulai pelonggaran PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Namun, hal ini tidak boleh mengendorkan kita dalam memberlakukan protokol kesehatan.
Terlepas kita setuju atau tidak dengan istilah new normal, Rasulullah SAW 1.400 tahun lalu telah memberi petunjuk sebagai protokol kesehatan dan rujukan dalam kondisi wabah yang sedang menerpa.
1. Petunjuk Nabi SAW yang berhubungan dengan perilaku dan etika pergaulan sehari-hari antara lain sebagai berikut.
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعَدْ بْنِ سِنَانِ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلَّمَ قَالَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan al-Khudri RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain." (HR Ibnu Majah, No 2340 dan 2341).
Ada beberapa pendapat tentang pemaknaan dharar dan dhirar. Ada yang memaknai dharar itu perbuatan yang membahayakan diri pribadi, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang membahayakan orang lain. Ada lagi yang memaknai dharar adalah perbuatan yang bisa menimbulkan kerusakan kepada orang lain, sedangkan dhirar adalah membalas kerusakan dengan kerusakan lain, baik disengaja maupun tidak.
Al-Khasyani mengartikan dharar itu perbuatan yang menguntungkan diri pribadi, tetapi mencelakakan orang lain, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang yang tidak menguntungkan kepada diri pribadi, tetapi bisa membahayakan orang lain. Ibnu ‘Utsaimin mengartikan dharar itu perbuatan yang membahayakan tanpa disengaja, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang membahayakan yang direncanakan. Terlepas dari berbagai pemaknaan tersebut, baik dharar ataupun dhirar dilarang oleh ajaran Islam.
Adapun kontekstualitas hadits ini dalam era new normal bahwa kita dianjurkan tetap bekerja, tetapi harus dipikirkan terlebih dahulu apakah pekerjaan itu bisa membahayakan pada diri pribadi dan orang lain atau tidak. Jika bisa membahayakan maka harus dicari caranya supaya tidak membahayakan.
Misalnya, kita bekerja dalam keadaan batuk dan sering bersin. Jelas hal ini bisa membahayakan diri kita ataupun orang lain maka langkah preventif sesuai hadits itu yang bersangkutan tidak usah berangkat kerja ataupun jika harus bekerja dia harus pakai masker dan rajin mencuci tangan.
Namun, sekarang ini ada sebagian orang yang termasuk kelompok OTG (orang tanpa gejala), yaitu orang tanpa keluhan, tetapi yang bersangkutan pernah melakukan kontak dengan klaster yang terindikasi Covid-19 sehingga dia berpotensi menularkan virus corona. Maka, yang bersangkutan supaya tidak mencelakakan orang lain harus memperhatikan protokol kesehatan, paling tidak menggunakan masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan. Rasulullah SAW bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من ضارّ ضار الله به . ومن شاقّ شاق الله عليه
Dari Abi Hurairah RA dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa membahayakan orang lain maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barang siapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain maka Allah akan menyulitkannya." (HR al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Banyak orang beranggapan bahwa masjid dan tempat ibadah lainnya adalah tempat orang berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga tidak usah diberlakukan protokol kesehatan. Dalam konteks new normal harus ada kesadaran semua lapisan masyarakat, baik yang masuk ke masjid maupun ke pasar atau ke tempat berkerumun orang banyak di mana saja. Mengacu kepada hadits di atas maka protokol kesehatan harus diutamakan sehingga berbagai kemungkinan masuknya virus corona yang membahayakan sebisa mungkin ditolak, sesuai dengan kaidah al-dharār yudfa’u bi qadril imkān (sebisa mungkin kerusakan harus ditolak).
Pada akhirnya masuk pada level al-dharār yuzālu (kerusakan harus dihilangkan). Jika semua masyarakat bisa disiplin berpegang teguh kepada hadits di atas beserta kaidah-kaidah yang diambil darinya, secara pelan tetapi pasti rantai penyebaran virus corona bisa diputus.
Untuk melaksanakan hadits di atas, seyogianya di tempat berkerumun orang banyak disediakan sabun pencuci tangan beserta air yang mengalir. Jika memungkinkan masker juga disediakan sehingga semua orang yang masuk ke masjid, pasar, dan tempat orang berkumpul menggunakan masker.