REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) meminta evaluasi dan audit terhadap proses penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang berjalan saat ini, khususnya tentang pembiayaan.
Permintaan ini disampaikan terkait kebijakan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang merujuk UU 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI, khususnya tentang pembiayaan.
Pada Pasal 30 ayat 1 disebutkan, Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan. Sementara ayat 2 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Ketum HIMSATAKI, Tegap Hardjadmo, mengatakan pihaknya tidak mendukung atas kebijakan Kepala BP2MI tersebut, akan tetap hemat kami sebagaimana tertera dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, frasa Pasal 30 adalah ‘cukup jelas’.
Dia menjelaskan, pembentuk undang-undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi karena dianggap sudah jelas.
Namun menurut Tegap, tidak ada salahnya BP2MI melihat dan mencari referensi tentang dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika undang-undang berkenaan pasal tersebut agar tidak terjadi salah penafsiran.
Dalam penafsiran HIMSATAKI, kata Tegap, UU tersebut secara logika berada dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya, yakni mewujudkan kesatuan yang melahirkan pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Badan yang tujuannya adalah melindungi PMI atau calon PMI dan keluargaya sebagai subyek, dan bukan obyek.
Menurut Tegap, ada tiga catatan setidaknya menyikapi kebijakan BP2MI. Pertama mempertimbangkan bahwa masing-masing negara penempatan memiliki kebijakan yang berbeda terkait pembebanan biaya rekrutmen bagi pemberi kerja serta persaingan dengan negara pengirim lainnya.
Kedua, jenis jabatan pekerjaan bagi calon PMI yang berbeda struktur biayanya, berbeda antara bekerja kepada perseorangan dan badan hukum, berbeda antara low skill, semi-skilled, dan skilled.
Ketiga, ada transparansi dalam menyusun biaya penempatan sehingga pembebanan biaya kepada siapapun dianggap adil. "Dan tererakhir adalah risiko keuangan dalam hal pembebanan biaya," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Rabu (10/6).
Dia meminta BP2MI melakukan sinkronisasi pelaksanaan teknis operasional sistem pelindungan dan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
"Tidak ada salahnya BP2MI melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan kementerian terkait dalam pelaksanaan dari UU tersebut," tuturnya.
Pihaknya berharap kebijakan yang dikeluarkan dalam penyelengaraan dan pelaksanaan UU tersebut berjalan cepat, berintegritas, netral, transparan dan akuntabel.