Rabu 10 Jun 2020 18:16 WIB

RUU Ciptaker, Sanksi Cabut Izin Lingkungan Jangan Dihapus

Pakar juga menyoroti sanksi pidana dalam RUU Ciptaker terkait pengelolaan lingkungan.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi hutan pinus. Pakar menyoroti terkait dihapusnya jenis-jenis sanksi administratif yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja terkait pengelolaan lingkungan.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Ilustrasi hutan pinus. Pakar menyoroti terkait dihapusnya jenis-jenis sanksi administratif yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja terkait pengelolaan lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana menyoroti terkait dihapusnya jenis-jenis sanksi administratif yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja terkait pengelolaan lingkungan. Ia menyarankan agar sanksi pencabutan izin lingkungan tidak dihapus di dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).

"Menurut saya nantinya jika disetujui tetap ada paksaan pemerintah, uang paksa, sanksi baru. Pembekuan izin atau pencabutan izin tidak ada lagi. Tidak secara tegas, mungkin di pasal belakang ada tentang pencabutan izin dan pembekuan, tetapi itu tidak secara tegas mengarah pada izin atau persetujuan lingkungan," kata Andri dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja Pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (Panja RUU Ciptaker), Rabu (10/6).

Baca Juga

Selain itu, ia juga menyoroti sanksi pidana yang tercantum di dalam RUU Ciptaker terkait pengelolaan lingkungan. Ia menjelaskan sanksi pidana tidak hanya penjara tetapi juga ada denda pidana. 

Menurutnya, sanksi pidana pokok di dalam RUU Ciptaker bagi pelaku tindak pidana lingkungan adalah sanksi penjara. "Jadi tidak ada lagi dendanya, ini agak unik, karena penjara efeknya maka tidak mungkin lagi menerapkan pasal 98 dan 99 UU lingkungan untuk korporasi, jadinya pasal ini mematikan penerapan pertanggungjawaban korporasi, jadi fatal kekeliruan," jelasnya.

Terkait mana yang yang perlu didahulukan antara sanksi administrasi dan pidana, ia mengatakan, undang-undang seharusnya membebaskan membuat dua kemungkinan itu ada. Pemerintah nantinya tinggal mengeluarkan panduan untuk proses penjatuhan sanksi.

"Tapi pada pelaksanaanya mereka nanti ada guidance-nya bahwa untuk kondisi tertentu bisa langsung berlaku pidana bisa langsung dua-duanya bisa langsung pilihan," jelasnya.

Guru Besar Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf meminta agar dirumuskan ulang terkait aturan perizinan, amdal, dan sanksi di dalam RUU Ciptaker. Sebab jika tidak diatur ulang, menurutnya,  sangat berbahaya di dalam RUU tersebut.

"Banyak tumpang tindih, banyak konflik, banyak inkosistensi. Ada pasal yang berkaitan tapi tidak diubah, ada pasal tapi itu menjadi payung bagi yang lain, tapi dicabut dan sebagainya. Hemat saya pak ketua, perlu betu-betul dirumuskan ulang dan itu perlu ada bantuan dari pihak akademisi misalnya untuk bisa membantu rumusan-rumusan baik segi proses maupun segi normanya," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement