REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa menolak calon kepala daerah yang tidak bisa memenuhi persyaratan, seperti mantan pemakai narkoba. Hal ini sebagaimana putusan Mahkamah Kontitusi.
"Boleh saja KPU melakukan penolakan (calon kepala daerah) itu atas dasar putusan MK. Putusan MK itu harus menjadi landasan kontitusional dalam setiap langkah kita bernegara," ujar Suminta, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (13/6).
Sebelumnya, MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal itu melarang seseorang dengan catatan perbuatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan berzina.
MK menyebut bahwa pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali dalam tiga kondisi. Pertama, pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat yang bersangkutan.
Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi. Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi.
Selain itu, mantan pemakai ini telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi. Hal tersebut dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Suminta mengatakan dalam putusan MK memang ada tiga pengecualian mantan pecandu narkoba yang tidak boleh mencalonkan diri sehingga KPU perlu cermat dalam menerapkannya. "Sebagai contoh, istilah korban sebagai yang dikecualikan. Bagaimana menentukan sebagai korban apa bukan? Bisa saja dilihat dari ancaman hukumannya, tuntutannya, amar putusannya, dan sebagainya. Perlu kehati-hatian," katanya.
Putusan MK tersebut perlu diterjemahkan oleh KPU secara cermat dan menuangkannya dalam peraturan KPU (PKPU) sehingga menjadi acuan bersama bagi para penyelenggara pemilu.
Suminta juga meminta semua pihak mematuhi dan mendukung putusan MK tersebut. Sebab, putusan MK merupakan penegasan yang menjamin agar hak warga negara mendapatkan pemimpin yang terbaik dapat terpenuhi, tanpa mengurangi hak konstitusional setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
Yang jelas, kata dia, semangat antinarkoba yang perlu digaungkan. Sebab, masih banyak calon-calon potensial lainnya yang rekam jejaknya masih bersih dari penyalahgunaan narkoba.
"Nah ini kan perlu dukungan semua pihak. Kita juga harus advokasi sebagai pemantau pemilu mengkampanyekan hal ini kemudian mendorong KPU dan Bawaslu untuk satu suara," kata Suminta.
Selain berpedoman pada putusan MK, Suminta juga meminta larangan calon kepala daerah bagi mantan pengguna narkoba juga diatur dalam PKPU yang dibahas dengan Komisi II DPR, pemerintah dan penyelenggara Pemilu. "Jadi, itu dibutuhkan untuk mengakomodir dan memperkuat putusan MK itu. Jika saja tiga pihak (KPU, DPR dan pemerintah) ini menyepakati hal yang sangat penting dan sudah diputuskan MK ini," katanya.
Suminta juga menyoroti keberadaan partai politik sebagai saringan calon-calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat pada pemilihan kepala daerah. Ia meminta parpol lebih mengedepankan kapasitas dan pendidikan politik, selektif, dan mempertimbangkan jejak rekam calon kepala daerah yang bakal diusung, termasuk dalam kasus narkoba yang digolongkan sebagai perbuatan tercela.
"Partai dan semua komponen bangsa tidak boleh mengambil keuntungan untuk kolompoknya. Tapi kita memgambil langkah-langkah sesuai dengan kepentingan bangsa. Ini urusannya bangsa kita," katanya.
Sebelumnya MK telah memutuskan mantan pengguna narkoba dilarang menjadi calon kepala daerah sejalan dengan penolakan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pilkada 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.
Putusan MK itu berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Nomor 10 Tahun 2016.