Senin 22 Jun 2020 07:46 WIB

Pahala Menahan Amarah

Orang yang pandai menahan amarah dibanggakan Allah di hari kiamat.

Menahan marah.
Foto: republika
Menahan marah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Secara psikologis, seseorang melampiaskan marah biasanya lantaran merasa benar. Sebaliknya, apabila bersalah ia merasa takut. Dalam konteks ini, marah karena benar dan takut karena salah, tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Islam justru mengajarkan agar dalam kondisi apapun, seseorang harus mampu menahan marah.

Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang menahan marah padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah SWT akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia hingga (kemudian) Allah SWT membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” (HR. Abu Daud).

Allah SWT mempertegas, “Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya. Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik.” (QS. al-Shafat/7: 48-49). Di surga mereka dinikahkan,  “Dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari.” (QS. al-Dukhan/44: 54).

Menurut  pengarang Tafsir Jalalain, bidadari adalah wanita yang putih kulitnya dan jeli matanya serta sangat cantik rupanya. Allah SAW melukiskan, “(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam kemah-kemah.” (QS. al-Rahman/55: 72). Kondisi bidadari itu dianalogikan seperti gadis-gadis yang dipingit di dalam kemahnya.

Itulah pahala menahan marah yang berdimensi eksatologi dan diperoleh setelah kematian. Dalam kehidupan di dunia saat ini, orang yang mampu menahan marah sudah  tampak tanda-tandanya, yakni dipuja-puji oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang perkasa. Dikatakan demikian karena dia dapat menaklukkan marah yang begejolak di dalam dirinya. 

Satu waktu, Nabi SAW bertanya secara retoris kepada para sahabat, “Siapa yang kalian anggap sebagai orang yang perkasa?” Kami menjawab, “Dia yang tidak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapa pun”.  Nabi SAW meluruskan, “Bukan demikian. Orang yang perkasa adalah orang yang bisa menahan dirinya ketika marah.” (HR. Muslim).

Abu Hurairah mengabarkan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Janganlah kamu marah”. Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi SAW (kerap kali ) menjawab, “Janganlah kamu marah.” (HR. Bukhari). Akibat buruk marah salah satunya mengundang banyak musuh.

Dalam Nashaihul Ibad, Syaikh Nawawi Banten menulis ulang pesan Nabi Sulaiman kepada puteranya, “Jangan kamu merasa banyak dengan memiliki seribu sahabat, karena seribu sahabat itu sedikit. Jangan pula kamu menganggap sedikit dengan memiliki seorang musuh, karena seorang musuh itu banyak.”

Selain itu, marah juga dapat merusak iman. Nabi SAW mewanti-wanti, “Marah itu dapat merusak iman seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu.”  (HR. Baihaki). Jadam adalah getah berwana hitam pekat yang berasa pahit yang berasal dari pohon yang bernama Aloe Ferox. Saking pahitnya, jadam digambarkan dapat menghilangkan rasa manis pada madu.

Agar terhindar dari bahaya marah yang dapat meluluhlantakkan iman, Nabi SAW memberikan tip dan triknya. Beliau bersabda, “Bila salah seorang di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap juga, maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud).

Selain duduk dan berbaring untuk memadamkan api kemarahan, Nabi SAW juga mengajarkan agar berwudhu, “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Mari kita berusaha menahan marah agar kita beroleh bidadari nanti di surga.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement