REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Islam, Yusuf Wibisono mengatakan, gerakan boikot yang ditujukan bagi Unilever adalah suatu kewajaran dan legal. Pemboikotan, kata Yusuf juga sepenuhnya tergantung pada persepsi masing-masing konsumen tentang urgensi gerakan boikot tersebut.
Namun Yusuf mengatakan, dari kampanye dan gerakan boikot tersebut, setidaknya konsumen dapat lebih selektif dalam memilih produk. Bukan hanya sesuai dengan kriteria pasar, namun juga kriteria etika dan moral.
“Kampanye boikot Unilever ini setidaknya memberi pelajaran bagi konsumen agar tidak hanya menggunakan kriteria pasar dalam membeli produk namun juga kriteria etika-moral,” kata Yusuf.
Boikot, kata Direktur IDEAS ini, adalah tindakan etis konsumen yang terukur dan rasional, sehingga mampu memaksa produsen merubah sikapnya. Namun gerakan boikot tidak selalu menghasilkan respon positif, tapi juga kegagalan.
“Boikot umumnya gagal karena persepsi konsumen terhadap probabilitas keberhasilan boikot adalah rendah,” kata dia.
“Misalnya, ketergantungan konsumen yang sangat tinggi pada produk-produk dari Unilever dan ketiadaan produk substitusi dengan kualitas dan harga yang setara, akan membentuk persepsi publik sejak awal bahwa boikot tidak akan diikuti banyak konsumen,” sambung dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Meski begitu, dia menjelaskan bahwa boikot adalah bentuk tekanan konsumen ke produsen. Boikot, kata Yusuf, bukan hanya dapat merugikan produsen, tapi juga dapat membuat kinerja penjualan dan keuangan produsen menurun secara signifikan.
“Konsumen dengan kebutuhan dan daya belinya akan selalu dilayani pasar, akan selalu memiliki alternatif dan kebebasan dalam membeli,” katanya.
Di sisi lain, saham emiten konsumer PT Unilever Indonesia (Persero) Tbk terkoreksi pada perdagangan hari ini, Jumat (26/6). Pelemahan terjadi seiring perusahaan secara terang-terangan mendukung gerakan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+) lewat akun media sosialnya.
Penurunan harga saham emiten berkode UNVR ini sudah terjadi sejak perdagangan kemarin, Kamis (25/6), yang ditutup anjlok 2,17 persen ke posisi 7.900. Pada hari ini, UNVR kembali melemah sebesar 0,63 persen dan turun ke posisi 7.850 setelah sempat dibuka menguat di posisi 8.025.
Analis Panin Sekuritas, William Hartanto, melihat pernyataan terkait LGBTQ+ bukanlah sentimen utama penurunan saham UNVR. Secara teknikal, dia menjelaskan, turunnya saham UNVR sebagai bentuk jenuh beli setelah berkali-kali gagal menembus 8.500. "Kebetulan muncul berita tersebut sehingga terkesan menjadi sentimen," kata William kepada Republika.co.id, Jumat (26/6)
Dalam beberapa hari terakhir, pergerakan saham UNVR cukup mendapat pengaruh dari sejumlah sentimen. Selain dukungan terhadap LGBTQ+, saham UNVR juga dipengaruhi oleh kabar penunjukan mantan menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebagai komisaris baru di UNVR.