REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA -- Keamanan pangan akhir-akhir ini naik ke puncak agenda nasional di Kuba. Berita utama dan diskusi banyak didedikasikan untuk topik tersebut.
"Kuba dapat dan harus mengembangkan program keberlanjutan secara definitif dan dengan urgensi, dalam menghadapi blokade AS yang obsesif dan diperketat dan krisis pangan Covid-19 akan ada," kata wakil pemimpin Partai Komunis Kuba, José Ramón Machado Ventura.
Pulau Karibia mengimpor sekitar dua pertiga makanan yang dikonsumsi dengan biaya sekitar 2 miliar dolar AS per tahun. Jumlah itu di samping pasokan pertanian utama, seperti pupuk, mesin, dan pakan ternak.
Tapi, impor menyusut dalam beberapa tahun terakhir karena bantuan dari sekutu Venezuela berkurang karena goncangan ekonomi. Terlebih lagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperketat embargo perdagangan yang telah dilakukan selama setengah abad.
Kondisi tersebut menyebabkan kekurangan makanan impor dan penurunan produksi pertanian nasional. Data terbaru menyatakan produksi beras, tomat, dan babi masing-masing turun 18 persen, 13 persen, dan 8 persen tahun lalu.
Pandemi virus corona, yang telah melumpuhkan sektor pariwisata utama memperburuk situasi. “Hari ini kita orang Kuba memiliki dua kekhawatiran besar: Covid-19 dan makanan. Keduanya membunuh. Kami dibanjiri kelangkaan," kata warga Kuba, Yanet Montes.
Ketersediaan produk di pasar semakin menipis. Pemimpin negara telah mengimbau rakyat Kuba untuk mengambil kembali pelajaran yang dipelajari selama apa yang disebut "Periode Khusus," atau depresi ekonomi yang dialami Kuba setelah keruntuhan 1991.
Tahun lalu, mereka mendesak petani untuk menggunakan sapi sebagai pengganti traktor karena kelangkaan bahan bakar. Departemen perencanaan memperluas pertanian organik di daerah perkotaan dan pinggiran kota di mana barang dapat dijual langsung.
Kuba menjadi semacam pelopor pertanian organik pada 1990-an. Mereka mengembangkan teknik seperti pengomposan cacing, konservasi tanah, dan penggunaan biopestisida, untuk menggantikan pasokan impor dan monokultur skala besar.
Para aktivis Partai Komunis mendaftar di beberapa provinsi untuk melakukan pekerjaan sukarela di ladang. Sementara pihak berwenang telah membagikan selebaran kepada para pemimpin lingkungan di kota-kota dan kota-kota kecil tentang perluasan pertanian keluarga.
Beberapa pengamat Kuba dengan hati-hati berharap krisis akan mendorong pemerintah untuk mereformasi model pertaniannya. Seperti halnya perekonomian lainnya, Kuba dengan pertanian tetap sangat tersentralisasi.
"Tidak ada yang baik dapat datang dari kombinasi monopoli pasokan, monopoli distribusi, dan harga terdistorsi," kata ekonom Kuba, Pedro Monreal.
Pemerintah baru-baru ini mengisyaratkan kemungkinan reformasi jaringan negara yang bertanggung jawab untuk membeli dan mendistribusikan sebagian besar hasil pertanian. Keputusan itu mendapat kecaman karena menyia-nyiakan tanaman dan merusak produksi.
Ekonom Kuba lainnya, Omar Everleny, mengatakan pemerintah harus membebaskan petani dari monopoli itu. Upaya tersebut memungkinkan mereka menemukan cara sendiri untuk menjual produk dan mengimpor peralatan mereka sendiri.
"Saya memiliki kesan dalam beberapa bulan ke depan kita akan melihat reformasi baru," kata Everleny.