Rabu 01 Jul 2020 09:30 WIB

Legislator Tagih Janji Pemerintah Pangkas Impor BBO 

Impor BBO terbesar berasal dari China yang mencapai 60 persen dari total impor.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Pekerja mengemburkan tanah ketika perawatan cacing merah (Lumbricus rubellus) di pusat budidaya cacing tersebut di Dataran Tinggi Kemuning, Karanganyar, Jateng. Cacing merah itu nantinya digunakan sebagai bahan baku obat dan kosmetik, untuk dijual. (Ilustrasi)
Foto: Antara
Pekerja mengemburkan tanah ketika perawatan cacing merah (Lumbricus rubellus) di pusat budidaya cacing tersebut di Dataran Tinggi Kemuning, Karanganyar, Jateng. Cacing merah itu nantinya digunakan sebagai bahan baku obat dan kosmetik, untuk dijual. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Amin Ak menagih janji pemerintah yang akan memangkas impor bahan baku obat (BBO) yang mencapai lebih dari 90 persen dari kebutuhan BBO per tahun. Tingginya impor BBO selain menghabiskan devisa negara mencapai 2,7 miliar dolar Amerika atau setara Rp 37,8 triliun per tahun, juga ada risiko tinggi terkait kehalalannya.

Menurut Amin, impor BBO terbesar berasal dari China yang mencapai 60 persen dari total impor, selebihnya dari India dan negara lainnya. Dia pun mendesak agar regulasi terkait tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) pada industri farmasi nasional direalisasikan. 

“Sampai saat ini kami belum mendapatkan road map kemandirian BBO dari pemerintah maupun holding BUMN Farmasi," keluh Amin dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/6).

Seharusnya, lanjut Amin, adanya pandemic Covid-19 ini menjadi momentum kebangkitan BBO berbasis sumber daya lokal. Padahal nusantara ini sangat kaya dengan keanekaragaman obat dan bahan bakunya, maupun metode pengobatannya. 

Kementerian Kesehatan mengidentifikasi ada 30 ribu jenis tanaman herbal dengan 1/3-nya bisa dijadikan BBO. Belum termasuk sumber BBO lainnya baik dari hewan seperti madu, maupun dari sumber daya laut yang belum banyak digali.

“Ini bagaimana BUMN Farmasi kita mau memperkuat riset agar kita mandiri BBO, lah piutang mereka baik di pemerintah, BPJS maupun rumah sakit milik pemerintah belum juga dibayar,” sindir politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Berdasarkan data BUMN Kimia Farma misalnya, pemerintah belum melunasi utangnya ke BUMN tersebut sebesar Rp 300 miliar. Selain pemerintah pusat, BPJS Kesehatan, sejumlah rumah sakit pemerintah, dan pemerintah daerah juga berutang  sebesar Rp 2,2 triliun kepada Kimia. Hal itu pastinya berdampak pada kesehatan keuangan BUMN tersebut.

Laporan perusahaan tersebut mengungkapkan, jumlah pinjaman modal kerja per 30 April 2020 sebesar Rp 4,4 triliun untuk membiayai piutang dan persediaan, dan pinjaman untuk investasi sebesar Rp 3,6 triliun dengan suku bunga komersial, di mana sejumlah Rp 400 miliar akan jatuh tempo pada bulan September 2020.  

Di sisi lain, bangsa kita sedang berperang melawan pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Kita pastinya membutuhkan banyak stok obat-obatan mapun alat kesehatan termasuk alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis.

“Saya minta pemerintah baik pusat maupun daerah, juga BPJS agar segera melunasi utang mereka kepada Kimia Farma, karena ini menyangkut hajat hidup rakyat di sektor kesehatan,” tegas Amin. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement