REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Manajemen baru PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memberikan pernyataan mengenai fakta dan kondisi perseroan yang terjadi pada periode 2012-2017. Pembukaan fakta ini juga saat perseroan menerbitkan produk JS Saving Plan, hingga akhirnya Jiwasraya benar-benar mengalami gagal bayar pada Oktober 2018 silam.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan, pada 2012-2017 Jiwasraya belum mengalami gagal bayar. Tetapi, pada periode 2017 hingga seterusnya mulai terjadi peningkatan jumlah liabilitas dan klaim yang signifikan. Hal ini dikarenakan kinerja keuangan dibebani oleh produk JS Saving Plan, yang saat itu menjanjikan bunga pasti atau fixed rate yang pernah mencapai net 10 persen atau jauh di atas rata-rata bunga deposito.
“Adanya penempatan portofolio investasi Jiwasraya pada saham lapis ketiga dan instrumen reksadana tunggal yang diduga tidak menggunakan kaidah dan standar profesional pelaku investasi di pasar modal, juga turut menjadi faktor yang menyebabkan perseroan mengalami kerugian dan utang dalam jumlah yang sangat besar, sampai akhirnya manajemen Jiwasraya tidak mampu membayar kewajiban terhadap nasabah,” ujarnya dalam keterangan tulis, Kamis (2/7).
Hexana menjelaskan, dirinya masuk dan efektif pada 27 Agustus 2018, kondisi keuangan Jiwasraya sudah sangat memprihatinkan dengan rugi Rp 4,1 triliun belum diaudit (unauditted) per Juni 2018 bahkan tidak ada cadangan gaji, operasional kantor, dan sudah tidak bisa membayar utang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek untuk klaim produk Saving Plan.
“Ini kondisi dua bulan sebelum Jiwasraya benar-benar gagal bayar pada Oktober 2018," ucapnya.
Hexana mengatakan, setelah mengetahui keberadaan utang Jiwasraya yang sangat besar sehingga mempengaruhi minusnya rasio kesehatan modal perusahaan asuransi atau Risk Based Capital (RBC), dia bersama Asmawi Syam yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Jiwasraya melaporkan kondisi yang riil ini ke Kementerian BUMN hingga akhirnya pihak kementerian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit tujuan tertentu terhadap laporan keuangan Jiwasraya.
Masalah pun kian bertambah ketika pada Januari 2020 jajaran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan adanya manipulasi pencatatan laporan keuangan atau window dressing, serta temuan mengenai adanya pencatatan keuntungan (laba) yang semu selama bertahun-tahun, setelah BPK berinisiatif melakukan investigasi awal terhadap Jiwasraya.
"Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masalah Jiwasraya itu pelik. Tapi, kami (manajemen baru) bersama Kementerian BUMN, Keuangan, OJK, dan stakeholder lainnya berkomitmen untuk terus menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Oleh karenanya, kami meminta dukungan untuk menyelesaikan upaya restrukturisasi yang sedang berjalan dan sebentar lagi selesai, sehingga kami bisa memenuhi kewajiban terhadap nasabah," ujarnya.
Atas hal tersebut, Hexana pun berharap, agar seluruh pihak tidak terganggu oleh informasi yang tidak tepat dan malah akan mengaburkan fakta sesunguhnya. Hal ini dimaksudkan agar proses penyehatan Jiwasraya bisa segera diselesaikan.
"Jadi, kami memohon agar fakta-fakta ini tidak didistorsi karena merupakan kausalitas dan supaya informasi ini tidak mengaburkan fakta yang ada di persidangan. Kami bersama pemegang saham bekerja sejatinya untuk nasabah dan perbaikan Jiwasraya,” ucapnya.