REPUBLIKA.CO.ID, China terdepan dalam balapan menciptakan vaksin Covid-19, setelah vaksin produksi Sinovac Biotech menjadi yang kedua di China dan ketiga di dunia yang memasuki tahap akhir uji pada akhir bulan ini. Sebagai negara asal di mana virus Corona jenis baru ditemukan, China menggabungkan kekuatan negara, militer dan sektor swasta dalam perang melawan penyakit yang telah membunuh 500 ribu orang di seluruh dunia itu.
Dalam pengembangan vaksin Covid-19, China menghadapi banyak tantangan. Sejauh ini hanya sedikit negara yang mau bekerja sama. Skandal vaksin pada masa lalu juga membuat Beijing harus bisa meyakinkan dunia terkait faktor keamanan dan kualitas produk.
Namun, untuk berhasil menciptakan vaksin Covid-19, China menggunakan cara-cara yang selama ini mereka terapkan dalam ekonomi. Satu perusahaan yang dikontrol negara misalnya, mengembangkan vaksin di dua pabrik berbeda dengan kecepatan produksi yang mereka sebut dalam 'kecepatan perang', sementara militer memperbolehkan vaksin diujicobakan kepada staf mereka.
Unit penelitian medis Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), yang sejauh ini menjadi kekuatan utama China melawan Covid-19, juga bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta, termasuk CanSino dalam mengembangkan vaksin Covid-19.
Menantang dominasi Barat dalam industri vaksin, China saat ini memiliki delapan dari 19 kandidat vaksin yang diujicobakan kepada manusia. Di mana vaksin produksi Sinovac dan CanSino berada di garis depan.
Dalam pengembangan vaksin Covid-19, China juga fokus pada teknologi vaksin inaktif. Sebuah teknologi yang dikenal dan digunakan dalam memproduksi vaksin seperti influenza dan campak.
Berbeda dengan China, beberapa produsen di Negara Barat seperi Moderna (Amerika Serikat) atau CureVac dan BioNTech (Jerman) dalam pengembangan vaksin Covid-19 menggunakan teknologi mutakhir RNA yang hasil produksinya perlu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari regulator negara masing-masing.
“Strategi diuji coba dan berhasil," kata Paul Offit, Direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak di Philadelphia, merujuk pada teknologi produksi vaksin inaktif yang diterapkan China.
“Jika saya harus memilih sebuah vaksin yang saya pikir itu akan menjadi yang paling aman dan efektif, itulah vaksinnya," kata Offit. Sebagai informasi, Offit juga penemu vaksin rotavirus, RotaTeq, yang diproduksi oleh Merck
Empat kandidat vaksin Covid-19 milik China yang diujicobakan kepada manusia saat ini adalah vaksin inaktif. Empat vaksin itu adalah satu produksi Sinovac, dua vaksin produksi China National Biotec Group (CNBG), dan satu produksi perusahaan farmasi milik negara, Sinopharm.
Saat ini hanya ada dua vaksin Covid-19 yang telah memasuki fase III uji klinis. Satu dari Sinopharm dan lainnya vaksin produksi AstraZeneca dan Universitas Oxford. Ada satu lagi vaksin produksi Sinovac bersiap menjadi yang ketiga pada akhir bulan ini.
Untuk mempercepat proses, China memperbolehkan Sinopharm dan Sinovac mengkombinasikan hasil uji klinis fase I dan fase II ke kandidat vaksin masing-masing. Adapun untuk vaksin produksi CanSino, institut peneletian PLA memegang peran penting, dengan menerapkan metode adenovirus, pendekatan yang sama digunakan oleh AstraZeneca.
Pada bulan lalu, PLA menguji coba vaksin yang dikembangkan oleh mereka bersama CanSino kepada anggota militer. Berdasarkan laporan medis setempat, peneliti senior PLA, Chen Wei, di antara yang pertama menerima injeksi uji coba vaksin itu
Meski saat ini menjadi yang terdepan dalam pengembangan vaksin Covid-19, China menghadapi tantangan dalam hal pengujicobaan dalam skala yang luas. Mengalihkan fokus uji coba ke negara lain, hanya sedikit yang mau bekerja sama seperti Uni Emirat Arab, Kanada, Brasil, Indonesia, dan Meksiko.
Tidak ada negara besar di Eropa dan juga Amerika Serikat yang berminat bekerja sama dengan China, lantaran mereka juga fokus memproduksi vaksin sendiri. Terlebih, China memiliki citra buruk dalam hal produksi vaksin merujuk pada skandal masa lalu terkait keamanan dan produksi vaksin produksi Negara Tirai Bambu itu.
Namun, menurut Kepala Institut Vaksin Internasional, Jerome Kim, “Otoritas regulator di China telah mengalami peningkatan dalam pengawasan."
Pada tahun lalu, China memperkenalkan beleid hukum yang mengatur industri vaksin. Aturan itu mencantumkan sanksi berat bagi produsen yang memproduksi dan menjual vaksin palsu atau berkualitas rendah. Jadi, tinggal kita tunggu saja bagaimana kelanjutan dari 'perang produksi vaksin' di dunia ini.