REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, Dosen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1968- 2007
Berapa tahun yang lalu saya pernah mengatakan bahwa kita belum memerlukan atau belum siap untuk ber-Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa? Karena, waktu itu saya khawatir bahw,a politik akan mengintai MK. Manalagi putusan MK berlabel “final dan mengikat”.
Dengzn kondisi masyarakat kita sepertt dulu dan bahkan sekarang ini, apakah label tersebut tidak berbahaya? Pastinya. Klo putusannya benar dan meyakinkan, itu sih no problem. Tapi akan menjadi bermasalah kalau putusannya bersifat contaminated politically. Kalau putusannya sepertu itu, apa mau tetap bersifat “final dan mengikat” juga?
Bagi banyak ahli hukum putusan tersebut memang harus tetap bersifat “final dan mengikat”. Sederhana saja, karena putusan itu sudah menjadi hukum. “Tegakkan hukum, walaupun langit akan runtuh”. Begitulah prinsipnya. Tapi kalau masalahnya dilihat dengan kacamata politik, apakah putusan yang salah itu haruss tetap terus dipertahankan sebagai bersifat “final dan mengikat”? Tentunya, tidak. Yg salah hrs dikoreksi!
Maka prinsip yang dipegang pun harus berubah dari “tegakkan hukum” menjadi “tegakkan kebenaran sekalipun langit akan runtuh”! Sebab, kalau kebenaran tidak ditegakkan, maka kehidupan masyarakat akan dipenuhi oleh rasa kecewa dan frustrasi, yang akan berujung pada timbulnya destabilisasi politik. Itulah yg dialami Indonesia pasca putusan MK untuk mensahkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin dlm Pilpres 2019.
Putusan MK ini tetap dianggap absah oleh banyak pakar hukum, dengan berbagai dalih, pada saat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang berimplikasi “korektif” terhadap putusan MK itu. Apa benar putusan hukum yang berjalan tidak bisa dikoreksi?
Saya berpendapat, boleh dan haruss bisa dikoreksi. Sebab, hal yang salah memang harus dikoreksi, demi tegaknya kebenaran dan untuk mencegah berulangnya lagi kesalahan yang sama di masa depan. Kalau tidak begitu, maka nanti kita tidak akan punya pegangan, mana yang benar mana yang salah. Karena itu sifat “final dan mengikat” tidak selayaknya diberikan kepad lembaga yang tidak mampu menjamin tegaknya kebenaran.