Senin 13 Jul 2020 00:16 WIB

Turki Ajukan Syarat Gencatan Senjata di Libya

Gencatan senjata akan dilakukan jika Khalifa Haftar menarik pasukannya

Red: Nur Aini
Milisi Khalifa Haftar serang Tripoli Libya
Foto: Anadolu Agency
Milisi Khalifa Haftar serang Tripoli Libya

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki Melvut Cavusoglu mengatakan, pemerintah Libya yang diakui PBB dan didukung Turki, Government of National Accord (GNA) akan menyetujui gencatan senjata hanya jika Khalifa Haftar, panglima Libyan National Army (LNA) yang didukung Rusia, menarik pasukannya dari wilayah tengah dan barat Libya. Hal itu Menlu Turki katakan kepada media Inggris Financial Times (FT), Sabtu (11/7) waktu setempat.

Cavusoglu mengatakan, pemerintah GNA yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayes al-Sarrah bertekad untuk melanjutkan serangan ofensif terhadap pasukan Haftar. Serangan akan dihentikan kecuali jika pasukan Haftar mundur dari dua lokasi strategis Libya, yakni pelabuhan Sirte dan rumah bagi pangkalan udara Jufra. 

Baca Juga

Cavusoglu juga menunjukkan bahwa Rusia mengajukan tawaran gencatan senjata selama pembicaraan di Istanbul bulan lalu dengan tanggal dan waktu yang konkret. "Ketika Ankara berkonsultasi dengan GNA, para pejabat Libya menyatakan prasyarat mereka pada Sirte dan Jufra dan pasukan Gen Haftar untuk kembali ke garis yang mereka pegang pada tahun 2015," ujar Cavusoglu kepada FT dikutip laman Anadolu Agency, Ahad (12/7).

Cavusoglu mengatakan, bahwa Ankara dapat mendukung serangan ofensif dan prakondisi GNA untuk gencatan senjata. Hal itu menurutnya sah dan masuk akal.

Berbicara tentang serangan udara terhadap pangkalan udara al-Watiya akhir pekan lalu, Cavusoglu mengatakan, bahwa ada penyelidikan untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas serangan itu. Meski ia bersumpah bahwa siapa pun dalang di balik serangan itu akan membayarnya.

Haftar pada 14 Januari menolak menandatangani prakarsa Rusia-Turki untuk gencatan senjata dan melanjutkan serangan ofensif dan upaya gagal mencaplok ibu kota Tripoli. Kementerian Luar Negeri Libya menegaskan bahwa mereka selalu berusaha untuk mencapai solusi damai untuk krisis negara itu.

Pekan lalu, Menlu Rusia Sergei Lavrov mengklaim bahwa pemerintah Libya tidak mau menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mencari solusi militer. "Kami mengingatkan menlu Rusia bahwa prakarsa Rusia-Turki ditandatangani oleh GNA di Moskow sementara Haftar menolak untuk menandatangani dan pergi (Moskow), menempatkan Rusia dalam posisi yang memalukan," kata pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Libya.

Sejak April 2019, pasukan Haftar telah melancarkan serangan terhadap ibu kota Libya, Tripoli, dan bagian lain Libya barat laut. Akibatnya, lebih dari 1.000 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak sipil. Namun, pemerintah Libya baru-baru ini mencapai kemenangan yang signifikan, dan mendorong pasukan Haftar keluar dari Tripoli dan kota Tarhuna yang strategis.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement