REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi itu lebih baik daripada menerima, apalagi meminta-minta.
Jika kemudian ditakdirkan bisa memberi kepada orang lain, maka Islam melarang umatnya untuk berharap balasan, pujian dan ucapan terima kasih sekalipun. Memberi harus dimaksudkan hanya untuk mendapatkan ridha Allah semata.
Dalam QS. Al-Insan: 9, Allah merekan suara hari orang-orang yang ikhlas, “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
Kendati demikian, jika seseorang mendapatkan tambahan nikmat melalui pemberian orang lain, maka ia harus bersyukur dan mensyukurinya. Pemberian tidak selalu bersifat materi. Penghormatan dan kemuliaan non-materi juga bagian dari pemberian.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah dianggap bersyukur kepada Allah seseorang yang tidak bersyukur kepada sesama manusia.” Setidaknya, ada empat adab (cara) mensyukuri pemberian orang (sesama manusia).
Pertama, dengan berterima kasih, yaitu di samping mengucapkan terima kasih kepada yang memberi, seseorang hendaknya setelah “terima” rela untuk “mengasihkan” kepada yang lain. Kisah menarik terjadi ketika Umar ibn al-Khattab menghadiahkan makanan kesukaannya, gulai kepala kambing kepada tetangganya.
Rupanya, tetangga yang dianggap layak oleh Umar untuk menerima sedekah itu ingat dan ingin mengamalkan sebuah ayat dalam Al-Quran surat Ali-Imran: 92, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan, hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”.
Maka, kepala kambing siap saji itu dihadiahkan kepada tetangganya yang lain. Menariknya, masakan nikmat itu akhirnya berpindah sampai rumah ketujuh. Tanpa diketahui oleh tetangga-tetangganya itu, rumah ketujuh ini tahu jika makanan ini kesukaan Umar.
Diantarkanlah masakan tersebut tanpa tahu bahwa kepala kambing itu berasal dari dapur rumah Umar. Akhirnya, masakan kepala kambing itu kembali lagi kepada pemiliknya, Umar ibn al-Khattab (HR. Al-Baihaqi dalam kitab Syuabul Iman: 3/259 dari Abdullah ibn Umar).
Dalam bahasa sederhana, bersyukur itu berterima kasih, meskipun makna “bersyukur” jauh lebih luas dari sekedar “berterima kasih”. Tetapi, setidaknya, begitulah salah satu cara mensyukuri pemberian orang lain. Apa yang dilakukan oleh Umar dan tetangganya menunjukkan mereka sebagai pribadi yang melimpah (giving oriented personality atau abundant personality).
Kedua, menggunakan pemberian orang lain sesuai dengan kehendak yang memberi. Jika pemberian itu berupa makanan, maka hendaklah didahulukan untuk dimakan dari makanan sendiri.
Jika makanan kita sendiri berlebih dan tidak memungkinkan memakannya karena pantangan kesehatan atau yang lain, maka segeralah diberikan kepada orang lain. Meski kita tidak pernah memberi tahu kepada yang memberi tentang apa yang kita lakukan, namun Allah mengetahuinya. Dengan izin-Nya, Yang Maha Pemberi Rejeki itu akan menambahkan nikmat-Nya kepada mereka yang mensyukuri pemberian orang lain.
Ketiga, pemberian itu merupakan sebuah penghormatan. Dalam Islam tidak ada istilah “balas jasa” atau “balas budi”. Tetapi, Islam mengajarkan agar membalas penghormatan, kemuliaan dan penghargaan itu dengan lebih baik.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’: 86, “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” Jika tidak bisa, doakan saja. Mintakan ampun si pemberi itu kepada Allah.
Keempat, berdoalah untuk mereka yang memberi. Doamu akan menenangkan mereka (sakanun lahum). Dalam QS. At-Taubah: 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Salah satu doa yang makbul adalah doa di mana seseorang yang didoakan tidak tahu jika ia sedang didoakan. Wallahu a’lamu bi al-shawab.
*Penulis adalah guru SMA Muhammadiyah I Sumenep Bahrus Surur-Iyunk.
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/07/08/adab-menerima-dan-mensyukuri-pemberian-orang/